Kamis, 29 April 2010

Desinition of Research

Research can be defined as the search for knowledge or any systematic investigation to establish facts. The primary purpose for applied research (as opposed to basic research) is discovering, interpreting, and the development of methods and systems for the advancement of human knowledge on a wide variety of scientific matters of our world and the universe. Research can use the scientific method, but need not do so.

Scientific research relies on the application of the scientific method, a harnessing of curiosity. This research provides scientific information and theories for the explanation of the nature and the properties of the world around us. It makes practical applications possible. Scientific research is funded by public authorities, by charitable organizations and by private groups, including many companies. Scientific research can be subdivided into different classifications according to their academic and application disciplines.

Minggu, 25 April 2010

Analisis Data: Kuantitatif ataukah Kualitatif?

Tatang M. Amirin; 8 Maret 2010

Tulisan ini sebenarnya sekedar mengulang secara khusus apa yang sudah dipaparkan dalam tulisan lain. Kenapa? Karena masih tidak sedikit yang bingung manakala sudah akan memikirkan analisis data, menggunakan teknik-teknik analisis kuantitatif, ataukah kualitatif.

Kita ulang dulu sebentar. Data-data yang akan dianalisis jika berupa data bilangan atau yang dijadikan bilangan, maka analisisnya disebut analisis kuantitatif (quantity itu artinya banyaknya atau jumlahnya). Ingat, bilangan tidak sama dengan angka, walaupun bilangan itu angka. Tidak semua angka merupakan bilangan (nomor HP itu angka, tapi bukan bilangan, tak bisa dibilang atau dihitung). Bilangan itu angka-angka yang bisa dibilang (dihitung, dijumlah, dikalikan, dibagi dsb). Angka-angkayang berupa bilangan itu diperoleh dari hasil menghitung dan atau mengukur.

Menghitung, misalnya banyaknya karyawan yang harus disupervisi, banyaknya guru yang diikutsertakan dalam kegiatan pelatihan, dan banyaknya uang yang diperoleh dari pekerjaan.

Mengukur, misalnya tinggi badan, berat badan, luas tanah yang dimiliki, kekuatan tangan mengangkat barang (dalam hitungan kilogram, bukan banyaknya barang yang bisa diangkat), dan juga “penguasaan materi pelajaran” (juga motivasi, minat, intensitas belajar, kedisiplinan kerja).

Yang suka membingungkan adalah contoh di bawah ini.

Seorang murid diminta mengerjakan soal sebanyak 100 butir. Setelah dikerjakan murid, soal diperiksa. Jawaban yang betul ada 82 buah, yang salah 18 buah. Simpulannya apa? Kemungkinannya sebagai berikut.

1. Murid dapat mengerjakan soal dengan benar 82 buah dari 100 buah.

2. Murid dapat mengerjakan soal dengan benar sebanyak 82%.

3. Murid mendapatkan nilai (skor) 8,2 (karena jika bisa menjawab semuanya dengan benar nilainya 10).

4. Murid itu termasuk pintar, karena bisa menjawab 82% soal dengan benar atau mendapat nilai 8,2. Sebutan pintar merupakan data kualitatif — “quality” selain berarti mutu, berarti pula sifat. Jadi, pintar merupakan “kualifikasi” (pengkualitatifan — “pensifatan”) data kuantitas (banyaknya soal yang bisa dikerjakan dengan benar, atau skor).

Contoh tadi merupakan contoh pengukuran, yaitu mengukur kemampuan murid mengerjakan soal, atau mengukur seberapa banyak materi pelajaran dikuasai oleh murid.

Penguasaan materi pelajaran oleh murid aslinya “data kualitatif” (bukan bilangan). Ambil contoh soal nomor 1 (sekedar contoh).

(*) 33 x 4 = . . . .

Hati-hati! Yang dituliskan itu angka-angka, hitungan, bilangan. Tapi, yang jadi data bukan angka hasil hitungannya (dalam hal ini 132), melainkan jawabannya itu benar ataukah salah (benar – salah). Salah – benar itu bukan bilangan. Jadi, itu “data kualitatif.” Sederhana, bukan?!

Lalu, kenapa menjadi data kuantitatif seperti contoh “analisis” di atas? Itu karena (khusus dalam contoh ini) jika murid menjawab benar diberi skor 1, jika salah diberi skor 0 (benar = 1, salah = 0). Ini “kuantifikasi” (pengubahan menjadi bilangan) data yang aslinya “kualitatif.” Nah, karena murid tadi bisa menjawab benar 82 soal, maka ia mendapatkan skor 82. Angka 82 ini diubah (karena nilai final “ulangan” berkisaran antara 0 sampai dengan 10 saja), menjadi 8,2.

Jika ada 10 orang anak mengerjakan 10 soal dan yang masing-masing mendapatkan nilai 8 / 7 /7 /7 / 7 /6 / 6 / 6 / 5 /5, maka, simpulannya bisa:

(1) ada 4 orang anak (4 dari 10 = 4/10 x 100% = 40%) mendapatkan nilai 7 ); 3 orang anak (30%) mendapatkan nilai 6, 2 orang anak (20 %) mendapatkan nilai 5, dan 1 orang anak (10%) mendapatkan nilai 8;

(2) jika nilai 5 tidak lulus ulangan, maka ada 8 (80%) anak yang lulus, dan 2 (20%) anak yang tidak lulus – lulus merupakan data kualitatif.

(3) rerata nilai yang diperoleh anak-anak itu 64 : 10 = 6,4. Jadi, relatif rendah — dari skor tertinggi 10 (“rendah” merupakan “kualifikasi” atau pensifatan dari data kuantitatif 6,4).

Nah, yang suka membingungkan adalah jika ada rumus yang menghitung persentase skor (nilai); nilai dipersentasekan. Dengan jumlah nilai dari 10 anak 64, maka

(1) Rumus aneh untuk menghitung persentase total nilai (64) dibagi jumlah anak (10) kali seratus persen = 64/10 x 100% = 640% (Bilangan apa, ini?!).

(2) Rumus aneh juga, dan mubazir, jika persentasenya menjadi total nilai yang diperoleh (64) dibagi total nilai yang seharusnya dicapai (10 x 10 = 100) dikalikan seratus persen = 64/100 x 100% = 64% ( = 64 : 100 = 6,4). Nilai 6,4 itu kan nilai rerata yang sudah diketahui. Persen untuk apa?

Sekarang mari kita ubah “jawaban” terhadap soal itu (dengan contoh lain) menjadi jawaban pertanyaan pengumpulan data (bisa dengan angket, wawancara, ataupun observasi dan dokumentasi).

Pertanyaan: “Apa yang biasa dimakan saat sarapan pagi?”

Jawabannya (dari 10 orang yang ditanya atau responden) bisa: Nasi goreng 5 orang, nasi gudeg 2 orang, roti bakar 1 orang, minum susu saja 1 orang, dan mie rebus/goreng 2 orang.

Jawaban (data) nasi goreng, gudeg, roti, susu, dan mie itu semuanya bukan bilangan (jadi “kualitatif”). Jadi, jika dipaparkan secara kualitatif, maka akan (misalnya) berbunyi “Yang dijadikan sajian sarapan pagi orang-orang di . . . adalah nasi goreng, roti bakar, susu, dan mie rebus/goreng. Artinya, tidak ada yang makan nasi putih dan sayur lodeh, nasi putih dan telur goreng dan lain-lain. Hanya yang disebut di atas saja.

Bisakah dianalisis secara kuantitatif? Tentu! Kenapa? Karena ada sejumlah orang (sebanyak 10 orang) yang “melakukan kegiatan sarapan pagi.” Jumlah 10 orang itu merupakan bilangan, merupakan data kuantitatif. Data dari 10 orang itu yang dianalisis. Analisisnya?

(1) Ada 5 orang (dari 10 orang = 50%) yang makan nasi goreng, 2 orang (20%) nasi gudeg, 2 orang (20%) pula yang makan mie rebus/godog, dan 1 orang (10%) yang hanya minum susu saja (tanpa makanan).

(2) Sebagian besar (50%) makan nasi goreng (makan lainnya 20% ke bawah).

Nah, jadi, analisis data itu akan kuantitatif ataukah kualitatif, tergantung pada “data apa” yang akan dianalisis. Yang harus diingat-ingat betul adalah contoh terakhir tadi. Jawaban pertanyaan pengumpulan datanya (dari orang per orang) memang bersifat kualitatif (apa yang dimakan), akan tetapi analisisnya kuantitatif (karena yang sebenarnya dianalisis adalah “responden sarapan apa”).

Jadi, dalam kasus lain bisa responden (misalnya perpustakaan sekolah yang “dipersonifikasikan”) melakukan dengan cara bagaimana (memperoleh koleksi perpustakaan dengan membeli, tukar menukar, pinjam, hibah, titipan). Atau responden mengolah sesuatu dengan cara apa (guru-guru “mengajar murid” dengan metode apa: ceramah, diskusi, demonstrasi, inkuari, kerja kelompok). Atau guru SD kelas bawah (I-III) menggunakan pendekatan tematik atau tidak (jawabannya menggunakan – tidak menggunakan). Yang dianalisis adalah banyaknya responden (subjek penelitian) yang menggunakan cara atau metode tertentu (mungkin dalam bentuk persentase).

Persoalan yang menarik juga dalah adakah kaitan alat (teknik) pengumpul data dengan teknik analisis data? Maksudnya apakah hanya data dari angket saja yang bisa dianalisis secara kuantitatif, data dari teknik pengumpulan data lainnya pasti kualitatif? Mari kita gambarkan dengan contoh pertanyaan pengumpulan datanya dari tiap teknik pengumpulan data.

Angket:

(1) Jumlah kendaraan bermotor yang dimiliki . . . buah. (Kuantitatif, bilangan)

(2) Cara memperoleh kendaraan bermotor: (a) tunai, (b) kredit. (Kualitatif, bukan bilangan).

Wawancara:

(1) Berapa banyak kendaraan bermotor yang dimiliki? (Bilangan, kuantitatif)

(2) Memperoleh kendaraan bermotor itu dengan tunai ataukah kredit? (Kualitatif, bukan bilangan).

Dokumentasi:

(1) Daftar presensi (kehadiran) karyawan kantor. (Bilangan kehadiran “ngantor;” kuantitatif).

(2) Catatan pekerjaan yang sudah diselesaikan petugas. (“Nama-nama pekerjaan;” bukan bilangan, kualitatif).

Observasi:

(1) Dilihat — ada berapa ekor sapi di kandang responden. (bilangan, kuantitatif).

(2) Dilihat — makanan apa yang diberikan kepada sapi peliharaan responden. (Jenis makanan, bukan bilangan, kualitatif).

Tes:

(1) Tugas: Lari cepat 100 meter. Berapa detik? (Bilangan ukuran kecepatan, kuantitatif).

(2) Tes hasil belajar: Apa ibu kota Kabupaten Sleman? (Nama, bukan bilangan, kualitatif).

Semoga jadi lebih benderang.

Observasi dalam PTK

Tatang M. Amirin; 28 Maret 2010; 7 April 2010


Sekali lagi–dalam tulisan lain sudah disinggung–”observasi” (observation) dalam bahasa metodologi penelitian itu mengandung arti dua macam. Pertama, bermakna sebagai penelitian atau pengumpulan data. Kedua, sebagai teknik khusus mengumpulkan data menggunakan alat indera (mengamati dengan mata, khususnya).

Dalam PTK (penelitian tindakan kelas) populer dipakai model Kemmis dan McTaggart. PTK menurut Kemmis dan McTaggart mencakup empat kegiatan, yaitu: (1) planning atau perencanaan, yaitu merencanakan tindakan untuk mengatasi masalah, atau untuk meningkatkan keadaan sekarang, (2) action atau pelaksanaan tindakan, yaitu melaksanakan tindakan yang sudah dirancang, (3) observation atau penelitian, yaitu meneliti apakah tindakan yang sedang dilakukan itu (proses dan hasil) telah berjalan baik, (4) reflection atau pengkajian, yaitu menelaah, mengkaji, merenungkan, atau mengevaluasi tindakan (proses dan hasil) apakah sudah berhasil dengan baik, ataukah belum.

Jadi, yang harus selalu diingat oleh peneliti PTK, langkah melakukan PTK, setelah mengkaji situasi dan kondisi di kelas untuk mengidentifikasi, (mengenali, mendata, atau mencari dan temukan) masalah, adalah merancang tindakan, melaksanakan tindakan, meneliti tindakan, mengkaji tindakan. Semuanya berkait dengan tindakan.

Sekali lagi diingatkan, awal penelitian tindakan tidak harus dari mengidentifikasi masalah, bisa dari keinginan untuk meningkatkan, memperbaiki, atau menyempurnakan keadaan sekarang. Jadi, mengikuti istilah Prof. Zuhdan Koen Prasetyo (dosen FMIPA UNY), tidak mencari-cari kambing hitam kesalahan (masalah). Misal, selama ini guru jika mengajar hanya dengan menggunakan metode ceramah saja. Dicoba ditingkatkan dengan menggunakan metode yang bervariasi (bermacam metode digunakan). Selama ini guru jika mengajar hanya di dalam kelas saja. Dicoba ditingkatkan dengan melakukan pengamatan lingkungan sekitar sekolah (menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar). Sumber belajar maksudnya segala sesuatu yang daripadanya murid bisa mendapatkan “pelajaran.” Atau, mungkin lebih tepat, menjadikan lingkungan sebagai objek belajar (sesuatu yang dipelajari). Kebun sekolah dipelajari. Sawah sekitar sekolah dipelajari. Pasar dekat sekolah dipelajari. Warung dekat sekolah dipelajari.

Kembali ke proses PTK, khususnya langkah ketiga (observation).

MENELITI (MENGOBSERVASI) TINDAKAN itu artinya meneliti jalannya tindakan yang kita laksanakan (sedang dan sudah dilaksanakan). Dalam PTK, itu akan berarti mencakup meneliti hal-hal berikut.

(1) Cara-cara yang digunakan untuk meningkatkan atau memperbaiki keadaan (masalah) sudahkah berjalan dengan semestinya. Misalnya, jika cara meningkatkan proses belajar dan hasil belajar murid itu dengan menggunakan alat peraga, maka diteliti apakah cara menggunakan alat peraga (bagaimana alat peraga itu digunakan untuk meragakan materi pelajaran) sudah berjalan dengan baik. Jika yang digunakan itu berupa belajar berkelompok (cooperative learning), diteliti apakah cara kerja murid dalam kelompok sudah baik, lancar, kooperatif dsb (nantinya akan direfleksi atau dievaluasi apakah cara mengelompokkan murid apakah sudah baik atau tidak).

(2) Alat bantu pengajaran yang digunakan apakah sudah tepat atau belum. Jika menggunakan alat bantu pengajaran (alat pelajaran, alat praktikum, alat peraga dan atau media) apakah alat-alat itu sudah tepat. Jelasnya, jika menggunakan alat peraga yang berupa peta, gambar, bagan, skema, benda tiruan, misalnya, diteliti apakah alat-alat itu memudahkan murid “mengenalinya” atau memahami materi yang disajikan lewat alat peraga tersebut. Contoh konkritnya, diteliti apakah alat peraga itu dapat terlihat oleh semua murid, termasuk yang duduk di belakang (apakah terlampau kecil atau cukup besar). Jika menggunakan media (tayangan video, tayangan cd di komputer, memperdengarkan suara dari tape-recorder), diteliti apakah video/cd itu tayangannya bagus, suara pada tape jelas, dan tentu saja apakah isinya yang berupa pelajaran itu komunikatif (mudah “ditangkap” murid).

(3) Jika dalam PTK itu “dicecar” aspek motivasi belajar, gairah belajar, minat belajar, kesenangan belajar murid dsb. (ikut akan ditingkatkan), maka diamati (langsung oleh guru, dengan mata kepala sendiri) perilaku murid-murid tersebut. Adakah di antara murid-murid itu yang pasif, yang “terlongong-longong” (“ndlopong”) saja, yang “asyik dengan dirinya sendiri,” yang jenuh, dan sebagainya. Ataukah sudah semua murid tampak berseri-seri, semua bekerja belajar dengan penuh semangat dan “senyum”? INGAT: DIAMATI LANGSUNG OLEH GURU, BUKAN OLEH ORANG LAIN!

Suka ada pertanyaan: Apakah perlu murid-murid diangketi? Untuk apa? Angket bisa menipu (dan bisa juga angket yang dibuat guru tidak valid dan tidak komunikatif). Mengamati langsung, sambil sekali-sekali mengajukan pertanyaan tak kelihatan, bisa mengungkap apakah murid senang, suka, menaruh perhatian, dan sebagainya.

(4) Keberhasilan belajar murid. Aspek ini sudah barang tentu DIOBSERVASI (diteliti) dengan menggunakan tes, entah tes tulis, entah tes lisan, entah tes perbuatan.

Tes itu ada yang disebut dengan tes formatif, yaitu tes yang dilakukan pada saat satu kesatuan kegiatan belajar-mengajar sedang berjalan. Jelasnya, pada setiap “sesi” materi atau pokok bahasan atau subpokok bahasan tertentu, yang belum tentu per pertemuan sudah selesai dibahas satu subpokokbahasan.

Tes bisa dilakukan dengan mengajukan pertanyaan lisan secara “purposive” (sengaja memilih) pada beberapa siswa. Tentu, jika pelajarannya Matematika, tes itu akan berupa mengerjakan soal Matematika. Tes dilakukan untuk mengecek apakah mereka paham atau menguasai pelajaran. Jika pelajaran berupa keterampilan, sitres apakah mereka bisa melakukan sesuatu perbuatan.

Untuk mengetes pilih secara “purposive” (tapi jangan mencolok) murid yang termasuk “bodoh” jika ingin tahu “murid sekelas” kira-kira sudah paham atau terampil tidak. Lewat “mengamati” anak yang bodoh, diasumsikan jika yang bodoh saja bisa, yang pintar” tentu lebih dari bisa.

Ada pula tes sumatif, yang dilakukan nanti di akhir satu kesatuan materi (jika ada satu kesatuan materi). Misalnya satu pokok bahasan utuh. Jika tidak ada, pokok bahasan tertentu, maka setiap satu kegiatan diakhiri dengan tes sumatif (ingat, dengan sampel purposive tadi, sudah cukup). Tes sumatif dilakukan pula di menjelang akhir PTK yang disesuaikan dengan rancangan kegiatan pelaksanaan tindakan yang berupa beberapa kali pertemuan dengan tema atau topik yang sudah dirancang.

Perlukah dalam “observasi” itu ada orang (guru) lain yang diminta mengamati? Jika PTK itu merupakan individual classroom action research, jawabannya TIDAK!

Ingat, yang diamati bukan cara guru mengajar, melainkan bagaimana tindakan guru berjalan. Guru menilai diri sendiri apakah sudah mengajar dengan baik ataukah belum dengan “merefleksi” dari konsekuensi atau dampak guru mengajar [baca: melakukan tindakan] itu. Ini dilakukan melalui pengamatan (penelitian) terhadap aktivitas murid, hasil kerja murid, kepahaman murid dsb. Jadi, jika murid-murid lesu belajar, itu tandanya tindakan yang diselenggarakan guru buruk. Jika murid-murid salah kerja, itu tandanya bahwa cara guru memberi tugas atau mencontohkan tidak bagus. Jika murid-murid masih tak paham juga (dicek lewat tes formatif), itu tandanya cara guru mengajar (melakukan tindakan) jelek.

Apakah dalam PTK perlu ada INSTRUMEN PENGUMPULAN DATA? Pada prinsipnya PTK itu termasuk penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif “instrumen pengumpulan datanya” itu si peneliti itu sendiri. Jadi, guru merupakan instrumen pengumpulan data. Perhatikan contoh-contoh bagaimanaa guru melakukan penelitian (observasi) di atas (mengamati, mengetes dsb). Satu-satunya instrumen penelitian yang digunakan, selain guru peneliti, adalah tes sumatif hasil belajar yang dilakukan kepada semua siswa.

Guru peneliti PTK seyogyanya mempunyai buku catatan khusus (anecdotal record) untuk mencatat kejadian-kejadian “luar biasa (anecdotes) yang mungkin berupa murid yang lesu darah, murid yang “cuek,” kelompok yang tidak kompak dsb. Buatlah catatan kegiatan harian (jurnal PTK) untuk memudahkan membuat laporan (dan tentu saja untuk memudahkan membuat “refleksi”).

Ukuran Sampel: Rumus Slovin

Tatang M. Amirin; 19 April 2009

Melakukan penelitian (survai) itu pasti yang terbaik adalah dengan “studi populasi,” yaitu seluruh anggota populasi diteliti (dihimpun data darinya). Nah, agar pembaca yang “langsung” membaca tulisan ini (belum baca tulisan lainnya) agar sambung dengan istilah populasi, terlebih dahulu perlu penjelasan mengenainya.

Jika kita akan meneliti karyawan sebuah perusahaan yang banyaknya 1.000 orang, maka seluruh karyawan yang seribu orang itu disebut sebagai populasi penelitian kita. Tiap-tiap karyawan dari seluruh karyawan yang seribu orang itu disebut sebagai subjek penelitian, sekaligus kita sebut sebagai anggota populasi penelitian kita. Jadi, dengan demikian, dapat disimpulkan pula bahwa populasi penelitian itu adalah keseluruhan subjek penelitian.

Ada kalanya kita tidak mungkin, karena berbagai keterbatasan, meneliti (“menanyai” atau mengumpulkan data–bisa dengan wawancara, observasi, angket, tes dsb–dari) seluruh anggota populasi (melakukan studi populasi). Kita mengambil sebagian daripadanya. Sebagian subjek penelitian dari populasi penelitian yang kita teliti (“tanyai”) langsung itu kita sebut sebagai sampel. Cara-cara bagaimana mengambil sampel dari populasi penelitian itu disebut dengan sampling.

Pertanyaan yang sering muncul berkaitan dengan pengambilan sampel (sampling) itu adalah mengenai seberapa besar (banyak) jumlah sampel yang patut diambil agar hasil penelitian yang dilakukan bisa diyakini benar. Apa itu arti bisa diyakini benar itu?

Pertama, karena tidak semua anggota populasi diteliti, maka hasil penelitian dari sampel itu seberapa tinggi taraf “kebisadipercayaannya” akan mencerminkan seluruh anggota populasi. Maksudnya, apa (data) yang dihasilkan dari sampel itu benar-benar sama dengan jika penelitian dilakukan terhadap seluruh anggota populasi.

Terjadinya hasil penelitian yang tidak bisa diyakini bahwa betul-betul benar itu akan diperbesar apabila sampel yang diambil “terlampau kecil” berbanding jumlah keseluruhan anggota populasi.

Kedua, walau bagaimanapun, hasil penelitian itu tidak selalu bisa diharapkan betul-betul benar (yakin 100% benar). Karena berbagai faktor dapat terjadi kesalahan (error, galat/”ghalat”) dalam hasil penelitian. Salah satu kesalahan itu terjadi karena ada yang “secara kebetulan benar.”

Kesalahan (error/galat) yang terjadi karena kebetulan itu lazim dilambangkan dengan “tataf signifikansi.” Untuk ilmu alam disepakati yang “terbaik” sebesar 0,01. Maksudnya hanya ada 0,01 (1%) saja kesalahan karena kebetulan itu terjadi. Jadi, yakin 99% bahwahasil penelitian itu benar.

Untuk ilmu-ilmu sosial disepakati yang “terbaik” itu sebesar 0,05 . Maksudnya hanya ada 0,05 (5%) saja kesalahan karena kebetulan itu terjadi. Jadi, yakin 95% bahwa hasil penelitian itu benar.

Dalam pengambilan sampel, kedua aspek tersebut di atas menjadi salah satu perhatian utama. Jika hasil penelitian diharapkan mencapai taraf signifikansi tinggi (taraf kesalahan karena faktor kebetulan kecil), maka jumlah sampel dituntut lebih banyak dibandingkan harapan taraf signifikansi lebih rendah (banyak kesalahan karena kebetulan lebih besar).

Salah satu cara menentukan besaran sampel yang memenuhi hitungan itu adalah yang dirumuskan oleh Slovin (Steph Ellen, eHow Blog, 2010) berikut.
n = N / (1 + Ne^2)

n = Number of samples (jumlah sampel)
N = Total population (jumlah seluruh anggota populasi)
e = Error tolerance (taraf signifikansi/toleransi galat terjadi)

Untuk menggunakan rumus tersebut, pertama-tama tetapkan terlebih dahulu taraf keyakinan (taraf signifikansi toleransi kesalahan terjadi). Misalnya kita ambil taraf keyakinan (confidence level) 95% (yakin 9% hasil penelitian benar) atau taraf signifikansi (taraf signifikansi 0,05).

Nah, jika yang akan kita teliti itu sebanyak 1.000 orang karyawan, seperti dicontohkan di muka, maka besarnya sampel menurut rumus Slovin ini akan menjadi:

n = N / (1 + Ne^2) = 1000 / (1 + 1000 x 0,05 x 0,05) = 286 orang.

Cobalah gunakan rumus tersebut jika taraf keyakinan (kepercayaan) hanya 90% (taraf signifikansi 0,10)! Berapa banyak sampel harus diambil?

n = N / ( 1 + Ne^2) = 1000 / (1 + 1000 x 0,10 x 0,10) = . . . orang.

Lebih kecil daripada taraf signifikansi 0,05 (yakin 95%), kan?!

SIGNIFIKANSI HASIL PENELITIAN

Oleh : Tatang M. Amirin, 20 Maret 2010


Ada yang bertanya, apakah jika penelitian dilakukan terhadap populasi (seluruh “anggota populasi” diteliti, bukan studi sampling, penelitian terhadap sebagian anggota populasi) harus ada uji signifikansi. Pertanyaan itu muncul karena umumnya dalam buku-buku statistika dan metodologi penelitian uji signifikansi itu berkaitan dengan generalisasi hasil penelitian dari sampel ke populasinya (dari “statistik”–hasil penelitian dari sampel–ke paramaternya–keadaan populasinya).

STOP! Harus diulang dulu apa itu populasi dan sampel. Jika yang akan diteliti 100 orang murid, maka keseluruhan 100 orang murid itu disebut populasi. Tiap-tiap murid disebut anggota populasi. Jadi, populasi seratus murid itu beranggotakan 100 orang. Jika keseratus orang itu semuanya diteliti (jika diangketi, ya semuanya dikirimi angket), maka disebutlah penelitiannya sebagai studi populasi. Jika yang akan diteliti (diangketi) hanya sebagian saja dari 100 orang itu, maka yang diteliti atau disebari angket itu disebut sampel. Penelitiannya disebut studi sampling.

Hasil penelitian terhadap sampel (misalnya dari 100 orang siswa yang diteliti 25 orang saja sebagai sampel) disebut sebagai “statistik.” Keadaan sebenarnya populasinya disebut sebagai “paramater.” “Statistik” (“data” dari sampel) itu kemudian digeneralisasikan (diberlaku=-umumkan) kepada populasinya. Jadi, jika misalnya data dari 25 orang murid menunjukkan semuanya rajin, maka semua murid (100 orang itu) dianggap rajin semua. Ingat ceritera mencicipi sayur sepanci. Sayur sepanci itu dicicipi sesendok teh. Sayur sesendok teh itu kurang asin. Lalu, disimpulkan bahwa seluruh sayur sepanci itu kurang asin. Itu namanya generalisasi. Sampelo (25 orang murid, sayur sesendok teh) diteliti, datanya (“statistik”) dipakai untuk “menaksir” keadaan (parameter) populasinya (contohnya: ditaksir 100 murid rajin semua, ditaksir sayur sepanci kurang asin semua).

Kembalike pertanyaan semula. Pertanyaan itu sangat menarik dan menggelitik. Saya terpaksa harus buka-buka “literatur,” mengecek apakah memang itu hanya berkait dengan sampel dan populasinya, dalam hal ini berkait dengan menggeneralisasikan data dari sampel (statistik) ke populasinya (paramater). Nah, untuk menjawabnya, akan lebih baik jika dibahas apa sih sebenarnya makna signifikansi itu.

Tunggu. Rasanya para pembaca perlu ada apersepsi (pengetahuan awal) terlebih dahulu, perlu dibawa ke dasar-dasarnya dulu. Nah, berikut dipaparkan dasar-dasar pengetahuan dimaksud.

Jika seseorang melakukan penelitian korelasi (mengkorelasikan variabel independen X dengan variabel dependen Y) yang bersifat kuantitatif (mengukur, datanya berupa bilangan) dan datanya itu dianalisis dengan teknik analisis statistika, salah satu yang harus “dilihat” itu adalah apakah hasilnya signifikan pada taraf tertentu. Signifikan itu arti mudahnya –nanti dijelaskan lebih panjang lebar–meyakinkan bahwa benar atau tidak.

Taraf signifikansi itu lazim dinyatakan dengan tanda .05 (diindonesiakan jadi 0,05) atau .01 (diindonesiakan jadi 0,01) — yang sering diubah menjadi taraf kepercayaan 95% atau 99% (0,05 = 95%; 0,01 = 95%). Maksudnya apa, nanti dijelaskan.

Dalam buku-buku statistika tersedia daftar yang menunjukkan angka-angka (bilangan) tertentu pada taraf signifikansi tertentu. Angka-angka itu merupakan standar (patokan) untuk menentukan apakah hasil penelitian (data penelitian) signifikan atau tidak. Angka itu menunjukkan angka minimal yang harus dicapai oleh data dari penelitian agar disebut berkorelasi secara signifikan (meyakinkan).

Jika angka (hasil analisis komputer) yang didapat dari analisis statistik itu lebih besar dari angka standar pada taraf signifikansi .05 atau .01, maka dikatakanlah bahwa ada korelasi yang signifikan. Sebelum penjelasan lebih lanjut, dalam bahasa keseharian istilah itu dapat kita beri makna korelasi yang meyakinkan, tegasnya yakin benar-benar berkorelasi (berhubungan: bahwa X “mempengaruhi” Y).

Keyakinan yang sepenuh-penuhnya dalam bahasa keseharian lazim dibahasakan dengan “yakin 100%.” Jadi, kalau yakin 99% ya sudah sangat dekat dengan 100%, begitu pula 95%. Tapi kalau “50% yakin,” itu artinya masih ragu-ragu, antara yakin dan tidak yakin. Jika hanya 25% saja yakinnya, ya jadinya tidak yakin, gitu.

Nah, apa itu maksudnya? Mari kita bahas dengan meminjam uraian Creative Reserch Systems (CRS)–online.

Istilah signifikan (significant) itu dalam bahasa Inggris umum (sehari-hari) artinya penting. Dalam Statistika, signifikan itu artinya berkemungkinan atau berpeluang betul-betul benar (bukan karena secara kebetulan). Bahasa Inggerisnya “probably true (not due to chance).”

Apa pula itu? Begini. Ambil contoh murid-murid yang mengerjakan ujian cekpoin. Si Anu bisa menjawab benar seluruh soal. Si B bisa menjawab benar seluruh soal juga. Demikian pula Si C dan Si D. Pertanyaannya, apakah “kebenaran” menjawab soal (bisa menjawab soal dengan benar) itu karena benar-benar tahu jawaban yang benar, ataukah hanya secara kebetulan menjawab (memilih dari pilihan ganda) jawaban yang benar. Itu kira-kira yang dimaksud “berkemungkinan benar” (benar-benar menjawab dengan benar–karena tahu yang benar) dan secara kebetulan (kebetulan menjawab atau memilih jawaban yang benar). Soal cek poin kan bisa seperti itu!

Dalam penelitian pun, jawaban responden (yang ditanyai) itu bisa benar-benar (sungguh-sungguh) menjawab itu, bisa hanya kebetulan. Jelasnya asal menjawab, tetapi kebetulan pilihan jawaban yang “dihitami” justru yang benar.

Taraf signifikansi (significance levels) itu, menurut CRS, menunjukkan kepada kita seberapa mungkin itu terjadi karena kebetulan saja. Jelasnya begini. Bilangan yang ditunjukkan untuk taraf signifikansi itu 0,05 atau 0,01. Itu artinya ada kemungkinan sebanyak 0,05 = 5% (atau 0,01 = 1%) secara kebetulan menjawab begitu.

Taraf yang umum digunakan dalam penelitian, seperti telah disinggung di muka, yang menunjukkan hasil penelitian itu seberapa dapat dipercaya kebenarannya adalah .95 (indonesianya 0,95). Itu artinya bahwa hasil penelitian itu kebenarannya 95% bisa diyakini (dekat dengan bisa dipercaya 100%).

Dalam penulisan statistika sebenarnya tidak ada penulisan taraf signifikansi itu dengan angka .95 (atau 0,95)–Saya tuliskan dalam tanda kurung plus tulisan atau, sebab jika langsung dituliskan .95 (0,95) siapa tahu nanti ada yang membacanya menjadi .95 kali 0,95 (Hehehe)–Yang akan tertuliskan adalah bilangan .05 (atau 0,05). Bilangan tersebut, seperti telah disinggung di atas, mengandung arti bahwa dalam hasil penelitian itu terkandung kemungkinan ada 5%-nya yang tidak betul-betul benar, yaitu yang hanya karena kebetulan saja benar. Ini sebenarnya “pembalikan” dari kemungkinan benarnya 95%. Jelasnya: kemungkinan yang benar 95%, kemungkinan yang tidak benar 5%–dari 100% jawaban responden.

Untuk mendapatkan persentase kemungkinan hasil penelitian benar, kurangkan bilangan 1,0 dengan bilangan “taraf signifikansi” tersebut. Jadi, bilangan 0,05 (atau .05) akan menjadi 1,0 – 0,05 = 0,95. Jika membacanya dengan cara lain, bukan dengan “nol koma …”, maka akan berbunyi: satu dikurangi 5 per seratus = 95 per seratus, alias 95 per sen (sen = seratus). Maksudnya 95% hasil penelitian itu dapat diyakini benarnya.

Ini contoh hasil penelitian (dari CRS) yang mencoba mengetahui apakah ada perbedaan pembelian BBM jenis X menurut kota dan jenis kendaraan bermotor. Analisis menggunakan teknik chi square (baca “kay skwer” alias kay kuadrat).

significance table

Di bagian bawah, sejajar tulisan “Chi Square” ada bilangan 0.07 (indonesianya 0,07) dan 24.4 (indonesianya 24,4). Itu adalah bilangan hasil analisis statistika yang menunjukkan kay skwernya.

Di bawahnya ada bilangan .795 dan .001. Itu bilangan taraf signifikansinya. Maksudnya bilangan sebesar 0,07 itu hanya “signifikan” pada taraf signifikansi 0,795, dan bilangan 24,4 signifikan pada taraf signifikansi 0,01.

Lebih jelasnya, bilangan 0,07 sebagai hasil analisis data penelitian tentang perbedaan pembeli BBM X antara penduduk kota dan pinggiran kota itu kebenarannya (bahwa benar-benar ada perbedaan) yang ditunjukkan pada taraf 0,795 ( = 795/10 = 79,5/100 = 79,5%) itu hanya bisa diyakini sebesar 100% – 79,5% = 20,5% saja. Jadi, jauh sekali dari yakin 100% benar ada perbedaan.

Bilangan 24,4 hasil analisis tentang adanya perbedaan pembeli BBM X antar pemilik berbagai kendaraan (beda mobil, beda beli) berada pada taraf signifikansi .001 (atau 0,001). Itu berarti berada pada taraf kepercayaan 1,000 – 0,001 (= 1000/1000 – 1/1000 = 100% – 0,1%) = 99,9%. Artinya, bahwa adanya perbedaan pembelian BBM X di antara pemilik berbagai mobil itu 99,9% benar.

Nah, jadi jelaslah bahwa taraf signifikansi itu berkaitan dengan taraf “kemeyakinkanan” adanya korelasi (jika penelitian korelasi–misalnya antara motivasi kerja dan prestasi kerja) atau adanya perbedaan (jika perbandingan–misalnya perbandingan efektivitas teknik A berbanding teknik B, atau perbandingan “kesukaan membeli sesuatu” antara orang desa berbanding orang kota).

Tradisional (manual) uji signifikansi itu dilakukan dengan cara membandingkan bilangan yang diperoleh dari analisis data hasil penelitian (misal 0,07) dengan bilangan standar pada taraf signifikansi tertentu (misal pada taraf signifikansi 0,05 bilangannya 12,08). Bilangan 0,07 lebih kecil daripada 12,08 (lazim dituliskan 0,07 <>

Tampak dengan demikian bahwa uji signifikansi itu yang pokok bukan soal generalisasi hasil penelitian yang dilakukan terhadap sampel kepada populasinya, melainkan soal “kemeyakinkanan kebenaran” hasil penelitian (yakin ada korelasi atau tidak, yakin ada perbedaan atau tidak).

Selain taraf signifikansi .05 (atau 0,05), seperti telah disebutkan di muka, lazim pula digunakan taraf signifikansi .01 (atau 0,01). Akan tetapi dalam penelitian sosial yang disepakati (ingat, hanya berupa kesepakatan para ahli) taraf signifikansi adalah taraf .05 (atau .05), alias taraf kepercayaannya 95% (yakin 95% benar; yang 5% diasumsikan secara kebetulan saja benar).

Sabtu, 24 April 2010

Konsep, konstruk, definisi operasional, dan definisi konseptual dalam penelitian


Katakanlah Anda akan meneliti tentang profesionalisme guru. Pertama-tama yang harus terpikirkan oleh Anda adalah apa yang dimaksudkan dengan profesionalisme itu, sebab bisa jadi yang Anda maui (pahami) dengan menyebut istilah itu, tidak sama dengan yang dipahami orang lain. Perbedaan itu akan membuat kesulitan komunikasi dalam penelitian, termasuk mengkomunikasikan hasil penelitian Anda, nantinya. Beda pemahaman tentang sesuatu, akan menyebabkan salah pengertian (bahasa kerennya misunderstanding) dan gagal komunikasi, seperti dalam anekdot sangat populer berikut.

***

“Budak Sunda” ketemu “Bocah Jowo.” Kebetulan bersaudara sih, anak kakak-adik, tetapi yang satu tinggal di Jogja, yang lainnya tinggal di Majalengka, sebelah barat Gunung Ciremay, bukan Cicalengka, Bandung, gitu.[Maja lengka itu artinya maja pahit; lengka (leng dalam lengkap) bahasa Jawa kuno, halusnya lengkit. Kerajaan Majapahit dalam babad suka disebut juga Majalengka].

“Bocah Jogma” (wong Jogja asli Majalengka) itu mudik, ceriteranya, dan ketemulah mereka di Majalengka, di desanya yang di gunung sih, bukan di Majalengka yang dataran rendah. Eh, lupa, Cah Jogja itu “teu bisaeun” (gak bisa) basa Sunda. Bahasa Indonesia saja gak lancar, wong sehari-hari pakai boso Jowo, je, tur masih SD kelas I. Kerabatnya, barudak Sunda, gak juga padabisa bahasa Indonesia, masih SD dan TK, apalagi boso Jowo. Blas.

Bocah Jogja tuh rada gede dibanding “barudak” Majalengka. Cah Jogja pingin menikmati suasana desa, jadi ngajak duduluran Sundanya jalan-jalan ke sawah, ke sawah Embah (Aki) mereka. Di Jogja gak punya sawah, sih. Mereka berjalan melewati pematang dan parit-parit, selokan irigasi.

Saat melewati selokan itu ada sesuatu yang berkecipak masuk ke dalam lubang yang rimbun terhalangi rerumputan. Cah Jogja melihat ada ikan, ikan lele, masuk ke lubang itu.

“Lele, lele! Kae lho ono lele mlebu leng,” kata si Bocah Jogja, sambil menunjuk-tunjuk ke arah lubang tempat ikan lele masuk.

“Sok kodok, atuh!,” timpal Budak Sunda, menyuruh Cah Jogja yang lebih gede itu “ngodok” (merogoh) lubang, menangkap ikannya. Kalau anak gede kan mestinya lebih berani. Barudak (anak-anak) Sunda takut, kalau-kalau ada ular.

Mendengar kata kodok-kodok begitu (kata-kata lainnya gak mudeng alias gak ngerti), Cah Jogja bingung, masak lele dibilangin kodok.

Kodok ngorek

“Kae ki lele. Sing mlebu leng ki lele!” Sambutnya ngotot, menegaskan yang masuk lubang itu ikan lele, bukan kodok, sambil nunjuk-nunjuk lubang

Barudak Sunda bingung dengan ucapan Cah Jogja. Tapi pokoknya ada kata lele, gitu, jadi langsung padajawab, “Nya enya sok atuh kodok!” (ya iya, makanya cepetan rogoh lubangnya) timpal Budak Sunda, paham kalau yang disebut-sebut itu memang lele, ikan lele, jadi bagus kalau “dikodok” (dirogoh).

Cah Jogja tambah bingung. Kok kodok lagi kodok lagi. Padahal itu lele.

“Ye. . . piye tho, kok kodok maneh, kodok, maneh. Kandani lele, kodok, kodok wae. Embuh, ah!” (Gimana sih, dibilangin lele, kodok lagi, kodok lagi. Udah, ah, tahu!), jawab Cah Jogja sambil ngeloyor pergi jalan terus menuju sawah.

Barudak Sunda “molohok ngembang kadu” (melongo terlongong-longong). Lalu, sambil bingung, nuturkeun (ngikut) jalan di belakang Cah Jogja.

***

Konsep
Lele dan kodok itu keduanya konsep. Konsep (kata) lele dipahami sama, baik oleh Urang Sunda, maupun Wong Jogja. Tetapi konsep (kata) kodok menjadi tidak sama pahamnya. Wong Jogja pahamnya kodok itu katak, Urang Sunda mengertinya rogoh (memasukkan tangan ke dalam lubang). Itulah ceritera mengapa sesuatu konsep (kata, istilah) dalam penelitian harus dipertegas maknanya (dibatasi atau didefinisikan pengertiannya).

Nah, mari kita lanjut dengan bahasan kita tentang profesionalisme.

Kata “profesionalisme” dalam bahasa metodologi penelitian lazim disebut sebagai sebuah konsep (concept). Hati-hati, istilah concept jangan dikisruhkan pula dengan draft. Kenapa? Karena dalam keseharian istilah konsep kerap dipakai dalam kalimat seperti, “Konsep suratnya sudah dibuat?” Atau, “Wah, maaf, saya belum sempat mengonsep naskah sambutannya.”

Konsep dalam dua kalimat contoh di atas bahasa Inggrisnya draft, bukan concept. Bahasa Indonesianya buram. Bahasa gaulnya “oret-oretan.” Membuat konsep sama makna dengan membuat buram atau oret-oretan. Dulu, sebelum masa komputer, sebelum mengetik dengan mesin tik dengan kertas HVS, konsep biasa dibuat pada kertas buram, karena kertas buram fungsinya memang untuk oret-oretan (membuat draft), bukan untuk menulis yang sebenarnya. Konsep (concept) dalam bahasa metodologi penelitian sebenarnya kata atau kata-kata (frasa) yang dapat disebut juga sebagai istilah.

Cobalah Anda gambarkan apa yang terbayang di kepala Anda jika saya menyebutkan kata (istilah, sebutan) “orang,” lalu “orang utan, ” lalu “orang hutan.” Ada sesuatu sosok yang terbayang di kepala Anda berkenaan dengan ketiga istilah, sebutan, atau kata itu, kecuali mungkin kata kedua dan ketiga. Orang, tentu Anda sudah bisa membayangkan sosoknya seperti apa, termasuk sosok Anda sendiri. Orang utan, rasanya pasti dalam kepala Anda ada “bayangan” (kesan) tentang sejenis kera. Orang hutan, nah ini baru masalah. Mungkin Anda membayangkan sama dengan orang utan, mungkin terbayang sosok seperti kita (orang juga) yang tinggal di hutan (seperti sebutan untuk orang desa atau orang kota). Orang, orang utan, dan orang hutan itu ketiganya disebut sebagai konsep (concept), sesuatu sebutan yang “mewakili” keberadaan sosok yang nyata ada dalam kehidupan, tetapi tidak terkait dengan sesuatu sosok tertentu.

Konsep bersifat umum dan abstrak. Universitas adalah konsep yang sangat abstrak. Universitas negeri, konsep lain yang agak konkrit, tetapi tetap masih abstrak, belum menunjuk universitas negeri yang manapun. Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) konkrit (ada barangnya, ada bendanya). UNY pun masih konsep juga, kendati konsep yang nuansanya konkrit, tertentu. UNYmemang nama sesuatu yang nyata, yang ril. Akan tetapi, seperti apa UNY itu, tak konkrit. Yang tampak cuma bangunan dan lokasi kampus UNY serta orang-orang yang sibuk dan serius bertridharma PT di dalamnya. Nah, ketika kita bicara kampus UNY barulah muncul sesuatu yang konkrit, seperti kalau Anda bertemu saya di UNY. Saya, yang bernama Tatang M. Amirin, benda konkrit, bukan konsep abstrak.

Di kepala kita ada “konsep” (ide tentang) ikan, sehingga tidak seorang pun dari kita yang tidak akan menyebut gambar berikut paling atas dan tengah sebagai ikan, padahal cuma garis lengkung-lengkung (gambar kiri atas) , padahal cuma “ceprik-ceprik duri-duri tajam” (gambar kanan atas), hatta yang agak rumit berupa vignet sekalipun (gambar tengah). Padahal itu berbeda sama sekali dengan benar-benar ikan, “ikan pacaran” pada gambar (foto) paling bawah.

Perhatikan pula anak kecil. Ia punya konsep tentang kucing di macankepalanya. Maka, ketika ia bertemu dengan seekor binatang yang lewat di depannya, ia akan menyebut binatang itu dengan kucing, karena yang lewat itu sama benar dengan konsep kucing yang ada di kepalanya. Bisa jadi, ketika ia ke kebun binatang dan melihat harimau (macan), ia pun akan menyebut binatang itu dengan kucing, karena “konsep” harimau belum ada di kepalanya, baru ada “konsep” kucing.

Orang-orang menyebut semua pisau “silet,” apapun mereknya (Goal, Tatra, Tiger) dengan silet (gilette), karena pisau ciptaan pertama kali Pak Gilette yang sosoknya seperti itulah yang pertama kali muncul. Sama dengan “orang Jawa” yang suka menyebut semua orang “Barat” dengan “Londo,” sehingga ada Londo Inggris, ada Londo Australia, ada Londo Amerika, walaupun londo itu asalnya sebutan untuk orang Belanda. Yang asli Belanda disebut “Londo Belanda” (?)

Jika dalam contoh di atas ada anak kecil menyebut harimau dengan kucing, tidak mustahil ketika dosen metodologi penelitian menyebut konsep “subjek penelitian”, dalam kepala mahasiswa terbayang seperti “subjek kalimat” dalam kalimat “Dosen mengajari mahasiswa melakukan penelitian” (dosen subjek, mengajari predikat, dst). Jadi, subjek penelitian adalah orang yang melakukan penelitian. Tentu saja itu salah, seperti kesalahan anak kecil menyebut harimau dengan kucing.

Sila baca makna subjek penelitian dalam tulisan Penulis di dalam blog ini juga. Namun demikian, biar agak nyambung sedikit, subjek penelitian adalah sesuatu, bisa orang, benda, atau lembaga, yang sifat dan atau keadaannya alias “attributes”-nya akan diteliti. Misalnya: (1) benda: kuantitasnya, kualitasnya, teksturnya, daya tariknya; (2) orang: sikapnya, perilakunya, pendapat atau wawasannya, kemampuannya, loyalitasnya, kedisiplinannya; (3) lembaga: (a) organisasi: sistem pengelolaannya, iklim organisasinya, efektivitas layanan publiknya, ketercukupan fasilitasnya, dinamikanya; (b) pranata sosial: prosesnya, makna-makna simbolisnya, sejarah asal usulnya.
Konstruk (Construct)
Istilah konsep kadang kala disebut juga konstruk (construct). Keduanya sebenarnyasama saja. Hanya kadang-kadang suka dibedakan, yaitu sebutan kontruk dikhususkan pada sesuatu yang bisa diukur-ukur (ditimbang, dihitung dsb). Dalam bahasan tentang penyusunan instrumen penelitian (baca: instrumen pengumpulan data dengan “teknik tes dan pengukuran”) suka ditemukan istilah validitas konstruk (construct validity, kesahihan berlandas makna hakiki konstruk atau konsep). Itu maksudnya yang “digambarkan” tentang konsep/konstruk itu benar atau tepat.

Ambil contoh konsep/konstruk “partisipasi masyarakat.” Apa makna hakliki partisipasi itu? Partisipasi masyarakat itu yang “take part” atau yang “involve.” Take part artinya benar-benar melakukan peran tertentu (lihat definisi peran di bawah). Involve (terlibat) artinya terlibat, tetapi tidak pegang peranan. Jika orang tua murid ikut membicarakan bagaimana sekolah akan dikembangkan, ikut merencanakan program pengembangan sekolah, ikut melaksanakan program, ikut memonitor dan mengevaluasi program, itu namanya berperan serta (berpartisipasi). Jika orang tua membantu menyumbang uang untuk mengembangkan sekolah, itu artinya orang tua terlibat dalam pengembangan sekolah, tapi tidak ikut berpartisipasi.

Ambil contoh ekstrim Mr. Saddish dan Mr. Qjamm membunuh Ms. Devique Boongama Lamkhary. Pembunuhan dengan menggunakan golok Mr. Goobanc. Yang membunuh Mr. Saddish. Mr. Qjamm “mengamankan mayat Devique. Yang beperan serta dalam pembunuhan itu Mr Saddish dan Mr. Qjamm. akan tetapi, menurut versi “the policeman,” Biasanya Mr. Goobanc dianggap terlibat (involved), karena meminjamkan goloknya (sengaja tau tidak).

Nah, dengan makna hakiki partisipasi seperti itu, maka jika yang tergali dalam (oleh) penelitian hanya keterlibatan (involvement) saja, itu artinya datanya tidak valid sesuai hakekat konstruknya. Jadi, dapat dikatakan pula bahwa “instrumen” untuk menggali data itu tidak memenuhi syarat validitas konstruk. Jadi, akhirnya, datanya “bias” (menyimpang dari yang sebenar-benarnya, alias salah, alias tidak sahih–shahih, bahasa Arab, artinya benar atau betul).

Pendefinisian Konsep

Analog (berkias) pada kemungkinan akan terjadi kesalahtangkapan makna (misunderstanding) serupa itu dalam penelitian, maka seseorang yang akan melakukan penelitian dituntut untuk memperjelas mempertegas konsep-konsep penting (tidak setiap kata atau konsep) yang ada di dalam “topik penelitiannya” (lazim tercermin dalam judul–kalimat judul penelitian). Kenapa? Karena penelitian yang dilakukan seseorang akan memunculkan “komunikasi” dengan banyak pihak. Dalam komunikasi itu haruslah kedua belah pihak sama makna dalam memahami konsep-konsep yang muncul ke permukaan penelitian.

Contoh:

Di Yogyakarta dan sekitarnya dikenal ada tradisi “nyadran.” Kayaknya istilah ini berasal dari istilah hadharahan (tulisan lama hadlarahan; baca: hadorohan) atau hadhran (hadlran; baca: hadran), yaitu kenduren yang lazimnya didahului doa “kaum” yang diawali ucapan “ila hadharati” (baca: ila hadoroti) atau “ila hadhrati” (baca: ila hadroti) . . . al-Fatihah. Karena ada kata “ila hadharati” (atau “ila hadhrati”) itu maka sebutan terhadap pembacaan keseluruhan bacaan tersebut bisa (suka-suka) disingkat menjadi hadoroh atau hadroh. Misalnya menjadi kalimat ajakan (di desa saya waktu kecil lazim ada istilah dimaskud), “Mari kita hadoroh dulu!” Itu artinya mengajak semua melakukan acara “mengirim al-Fatihah ke hadhoroh (ila hadhoroh (t berubah jadi h sesuai tatabahasa Arab) . . .” atau “hadroh” (“aslinya” hadhrot) seseorang yang dimuliakan. Dari sebutan “hadoroh” atau “hadroh” itu, kegiatan melakukan seluruh rangkaian acara “berhadoroh/berhadroh” itu disebutlah dengan “hadorohan” atau “hadrohan” yang luluh menjadi “hadran,” dan kemudian menjadi “nyadran.”

Kenduren ini dilakukan pada bulan Rewah, sehingga suka juga disebut jadi “rewahan” alias “ngarwahi,” yaitu mengirim dua kepada para arwah, leluhur, utamanya yang dianggap mulia atau “al-hadhrat” [= "al-hadrah"; dalam tulisan lain ditulis "al-hazrat atau al-hazhrat) sebelum puasa.

Menurut Zoetmulder, nyadran merupakan peringatan meinggalnya seorang raja Majapahit, ketika itu Tri Buwana Tungga Dewi, disebut sradha (dari kata sradha muncul istilah nyadran atau sradhaan). Oleh wali tradisi "ziarah" kubur raja itu diisi nilai-nilai Islami. Wallahu a'lam mana yang benar (Kenapa bulan Rewah?).

Istilah nyadran ini jika dibawa ke daerah tertentu di Banjarnegara, Jawa Tengah utara-barat, bukan Banjar Ciamis (menurut mahasiswa saya pada Prodi PGSD FIP UNY) akan dipahami lain, karena nyadran di Banjarnegara itu merupakan kenduri sebelum pernikahan dan setelah pernikahan seseorang diselenggarakan.

Itu contoh soal jika, misalnya, ada yang akan meneliti asal-usul tradisi nyadran di Indonesia. Nyadran versi yang mana? Jogja-Solo atau Banjarnegara?

Kembali ke awal. Jadi, istilah (konsep) profesionalisme yang akan diteliti itu haruslah jelas dan tegas benar maksud maknanya apa. Harus dibatasi pengertiannya. Dibatasi, maksudnya dipertegas maknanya, seperti jika orang mempertegas batas-batas tanah miliknya, sehingga jika ia mengatakan "tanah saya," jelas yang dimaksud tanah yang itu, bukan yang lainnya (yang lainnya punya orang lain).

Itulah sebabnya penegasan makna atau pengertian tersebut diistilahkan dengan batasan pengertian (bahasa Inggrisnya definition). To define salah satu maknanya adalah "to state exactly the meaning of a word or phrase" (menyatakan secara tegas makna sesuatu kata atau frasa). Makna lainnya adalah "to show a line, a shape, a feature, an outline etc. clearly" (menunjukkan secara jelas tegas sesuatu garis batas, suatu bentuk, suatu sosok, suatu kerangka garis besar, dsb).

Ambil contoh yang paling mudah, agar tidak perlu merunut menelusur ke literatur. Yang akan diteliti mengenai prestasi belajar. Apa arti (makna) prestasi belajar itu? Arti secara umum adalah keberhasilan belajar atau hasil belajar. Masih ada pertanyaan. Apa arti (makna) belajar? Belajar apa, belajar di mana?

Mari kita contohkan begini:

Budi, murid SD kelas IV, pintar sekali menganyam bambu. Belajar di mana ia? Di rumah, diajari (sekaligus membantu) ayahnya yang sehari-hari pekerjaannya menganyam bambu. Apakah hasil belajar Budi akan termasuk yang diteliti? Tidak? Hanya yang diajarkan dan dipelajari di sekolah saja? Nah, tampak benar kan perlunya ada batasan pengertian prestasi belajar itu? [Ingat contoh di muka: Itu "tanah saya", yang itu "bukan tanah saya". Ini lho batas-batasnya! Sama-sama "tanah" tapi ada "tanah saya" dan ada "tanah orang lain" > Sama-sama prestasi atau hasil belajar, tetapi ada "di/dari sekolah" dan "di/dari luar sekolah."]

Masih ada pertanyaan lanjut. Setelah diajari guru agama (ustad), Budi “pintar” sembahyang. Pada saat ujian, Budi ditanya macam-macam “hapalan” pelajaran agama. Budi tidak bisa menjawab dengan baik. Nilai (prestasi belajar) Budi jadinya rendah. Padahal Budi “pintar” solat, puasa, wiridan, doa, azan, qomat dll. Prestasi belajar yang mana yang hendak diteliti?

Definisi Operasional Konsep
Nah, batasan pengertian (definisi) konsep belajar (prestasi belajar) itu jadinya harus “dioperasionalkan” lebih tegas. Operasional artinya jika akan diukur atau dihitung, aspek-aspek, sisi-sisi apa saja yang harus tercakup ke dalam konsep belajar (prestasi belajar) itu agar mudah diteliti (diukur, dihitung dsb). Dengan kata lain, apa saja yang menjadi “tanda-tanda” (indikator) pengukur konsep itu. Ingat, ini berkaitan dengan penelitian yang dalam menghimpun datanya menggunakan ukuran-ukuran atau hitungan-hitungan. Dalam bahasa metodologi penelitian sering dikaitkan dengan penelitian kuantiatif-positivistik (yang suka memandang segala sesutu bisa diukur atau harus bisa diukur).

Sebentar! Diukur itu maksudnya apa? Tinggi tubuh diukur dengan meteran. Berat badan diukur dengan timbangan. Isi tangki bensin diukur dengan literan. “Daya terang” bola lampu “diukur” dengan “watt.” Kecepatan laju kapal “diukur” dengan “knot.” Itu sehari-hari yang kita tahu. “Kepahaman” murid akan materi pelajaran yang sudah diajarkan dan dipelajari “diukur” dengan tes (ujian, ulangan). Lalu, bagaimana “mengukur” yang lainnya?

Disusun oranglah berbagai alat ukur. Kecerdasan diukur dengan “alat tes”, antara lain yang dibuat oleh Binet dan Simon. Ada pula alat ukur yang disebut dengan Tes Potensi Akademik. Sikap (pro-kontra, setuju-tidak setuju, simpati-antipati terhadap sesuatu yang melibatkan unsur emosi subjetif seseorang; misalnya sikap “orang tua” Amerika Serikat terhadap pengiriman “anak-anaknya” ke negara-negara yang dianggap tidak demokratis menurut kaca mata “pemimpin” Amerika–orang Indonesia yang tidak terlibat secara emosional subjektif terhadap hal yang disikapi warga Amerika itu tadi, bukan sikap, melainkan hanya pendapat atau opininya saja) “diukur” dengan skala sikap, misalnya dengan model Likert.

Kembali ke definisi operasional. Kita bicarakan bagaimana merumuskan definisi operasional.

Coba kita beri contoh dengan memikirkan apa tanda-tanda seseorang mahasiswa dikatakan “rajin belajar.” Apa saja yang menjadi “ukuran” rajin belajar itu? Pertama, deskripsikan dulu apa saja kegiatan yang termasuk belajar itu (mengikuti kuliah, membaca bahan kuliah, mengerjakan tugas, berdiskusi dengan teman, atau apalagi?). Setelah itu cari tanda (ukuran, indikator) kerajinan (belajar) dari setiap deskriptor tadi. Jadi, ada rajin mengikuti kuliah (tanda atau indikatornya?), ada rajin membaca bahan kuliah (tanda atau indikatornya?) dan seterusnya. Jangan lupa, dalam setiap deskriptor itu tentu ada subdeskriptornya. Mengikuti kuliah (salah satu deskriptor belajar) mengandung sub kegiatan, misalnya, mengikuti presentasi dosen, mengikuti diskusi kelas (jika ada), mengerjakan tugas kelas (jika ada), menyusun makalah untuk diskusi kelas dan mepresentasikannya (jika ada).

Jadi, kerajinan belajar mahasiswa adalah kekerapan seseorang mahasiswa hadir di kelas mengikuti perkuliahan dan mengerjakan tugas-tugas kelas, kekerapan membaca literatur yang terkait dengan perkuliahan, kekerapan dan kesungguihan mengerjakan tugas-tugas kuliah . . . (dst.).

Contoh di atas merupakan contoh definisi operasional. Definisi operasional konsep adalah definisi (batasan pengertian) sesuatu konsep yang mengandung kejelasan dan ketegasan mengenai deskriptor (aspek-aspek yang terkandung atau tercakup) dan indikator (tanda-tanda keberagaman atau variabilitas) konsep yang akan diteliti itu, yang terukur (bisa dan mudah diukur) dan atau terhitung (bisa dan mudah dihitung).

Penelitian yang tidak akan mengukur-ukur tentu tidak memerlukan adanya definisi operasional. Penelitian eksploratori (eksploratif), misalnya, karena tidak mulai dari konsep yang harus diukur-ukur, tidak memerlukannya. Justru dapat terjadi dari penelitian eksploratif (penggalian) tersebut akan tergali dan termunculkan sesuatu konsep baru yang sama sekali sebelumnya belum diketahui, disertai (berdasarkan) deskriptor atau indikatornya yang juga muncul dari penelitian lapangan, bukan dari “kepala” peneliti sebelum melakukan penelitian eksploratif tersebut.

Contoh:

Seperti apakah bunga Raflesia Arnoldi sebelum ditemukan oleh Arnold dan Rafles? Tak ada yang tahu. Nama itu saja pun untuk menyebut bunga bangkai itu tak ada. Setelah itu barulah orang bisa “menemukan” bunga-bunga raflesia arnoldi di beberapa tempat dan menyebutnya sebagai bunga raflesia arnoldi berdasarkan sifat-sifatnya yang sesuai dengan sifat-sifat bunga raflesia arnoldi (paling awal ditemukan).

Berikut ini contoh definisi operasional yang sangat sederhana (singkat) karena tidak memerlukan deskriptor yang banyak):

Kontak orang tua dengan anak-anaknya adalah kekerapan pertemuan tatap muka orang tua dengan anak-anaknya yang diukur dengan hitungan menit pertemuan. [Sila baca tulisan "Penelitian Kualitatif Penggalian-Hipotesis . . ." dalam blog ini!]

Nah, kita coba dengan konsep profesionalisme. Oh, ya, sebelum lanjut, definisi operasional tidak (jangan) mengutip definisi yang ada di buku-buku pelajaran (textbook), karena yang ada di sana lazimnya berupa definisi konseptual (seperti akan dibicarakan di bawah).

Profesionalisme atau keprofesionalan adalah tinggi-rendahnya pemilikan pengetahuan, kecakapan, dan etika untuk dan dalam melaksanakan tugas dan fungsi jabatan yang harus dilakukan seseorang dalam profesi tertentu.

Profesionalisme guru adalah tinggi-rendahnya pemilikan pengetahuan, kecakapan, dan etika untuk dan dalam melaksanakan tugas dan fungsi jabatan keguruan, yang mencakup nilai-nilai kepribadian yang luhur, bidang ilmu yang akan diajarkan, metodologi pengajaran/pendidikan (pedagogi), manajemen pengajaran/pendidikan, dan etika profesi keguruan.

Nah, ketahuan sekarang, alangkah susahnya untuk emengukur” profesionalisme seorang guru. Harus pakai tes (pengetahuan) dan observasi (kinerja cerminan kecakapan).

Definisi Konseptual Konsep

Dalam beberapa jenis penelitian, definisi yang diperlukan cukup berupa definisi konseptual, yaitu penegasan penjelasan sesuatu konsep dengan mempergunakan konsep-konsep (kata-kata) lagi, yang tidak harus menunjukkan sisi-sisi (dimensi) pengukuran (tanpa menunjukkan deskriptor dan indikatornya dan bagaimana mengukurnya ).

“Prestasi belajar merupakan segala bentuk keberhasilan dari mengikuti atau melakukan kegiatan belajar,” merupakan contoh definisi konseptual. Ada konsep “keberhasilan belajar” dan “mengikuti/melakukan kegiatan belajar” yang dipakai untuk menjelaskan dan menegaskan makna prestasi belajar. Belum (tidak ada) deskriptor dan indikator bagi kedua konsep tersebut, sehingga, jika akan diukur tidak jelas apanya yang akan diukur. Seperti telah dijelaskan, yang diukur tentu “ukuran”, misalnya ketinggian: tinggi – rendah; kebesaran: besar – kecil: “kebanyakan”: banyak – sedikit; kekerapan: sering – tidak pernah; “kesetujuan”: sangat setuju – sama sekali tidak setuju. Namun demikian, pendefinisian secara konseptual tersebut sudah memberi makna mengenai apa yang dimaksud dengan prestasi belajar.

Definisi konseptual diperlukan dalam penelitian karena definisi itu akan mempertegas apa yang akan diteliti. Sekali lagi, terkecuali pada penelitian yang benar-benar besifat eksploratif, yang konsepnya saja pun belum terketahui, sehingga tidak mungmin mendefinisikannya terlebih dahulu, karena konsepnya saja pun belum tergali. Penelitian model ini (murni eksploratif) mungkin amat sangat jarang terjadi (Karena amat jarang yang melakukan seperti itu? Bisa jadi! Termasuk saya, hehe . . . )

Kapan Konseptual, Kapan Operasional

Judul penelitian yang berbunyi “Efektivitas pelaksanaan manajemen berbasis sekolah (MBS) di Kabupaten Majalengka,” misalnya, mengandung konsep (istilah) yang bersifat “variabel” (mengandung keragaman “nilai” tinggi – rendah), yaitu efektivitas (sangat efektif vs tidak efektif sama sekali). Menelitinya tentu harus dengan mengukurnya (seberapa tinggi tingkat efektivitasnya). Oleh karenanya harus didefinisikan secara operasional konsep (yang berupa frasa) “efektivitas pelaksanaan MBS” itu maknanya apa. Sekali lagi, mulailah dari deskriptornya: deskriptor pelaksanaan MBS itu apa saja (misalnya keleluasaan sekolah untuk mengatur sendiri, keterlibatan masyarakat, dsb.), dan indikator (indikator efektivitas) dari tiap deskriptor itu apa.

Penelitian yang berjudul “Pendapat masyarakat mengenai peran masyarakat dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah” tidak memerlukan definisi operasional, karena “pendapat” tidak bisa dan tidak untuk diukur. Cukup dirumuskan definisi konseptual mengenai konsep (istilah) pelaksanaan MBS saja. Kata (kosep) “pendapat masyarakat” tidak perlu didefinisikan. Yang perlu dipertegas (bukan didefinisikan) hanya mengenai yang dimaksud dengan masyarakat itu siapa (semua orang–termasuk bayi-bayi yang baru lahir, orang dewasa, kepala rumah tangga, tokoh-tokoh formal dan informal?). tetapi, karena suka salah memaknai, pengertian peran (role) yang sering dimaknai sebagai andil atau sumbangan, perlu diperjelas (secara konseptual).

Iya deh, karena ada yang mengakses apa itu role, kita bahas sedikit. Gak apa kan, jadi panjang tulisan ini?!

Role itu artinya peran (sesuatu yang dilakonkan). Contoh: Tatang berperan sebagai (melakonkan sosok) Si Kabayan dalam “ketoprak nusantara multikultural UNY.” Jadi, Tatang memerankan tokoh (berakting sebagai) Si Kabayan. Role itu berati pula peranan (sesuatu “state” yang dilakukan untuk/dalam memberikan andil terhadap sesuatu). Perhatikan: ada andil atau sumbangan juga, sih! Misal: Tatang berperan sebagai penyandang dana pagelaran wayang golek dengan dalang Asep Sunarya untuk merehab bangunan SD Haurbuni (kayak iya-iyao punya duit, hehe . . .). Terlihat beda kan dengan ini: Tatang memberikan dana untuk merehab bangunan SD Haurbuni.

Definisi Operasional Variabel

Hampir sebagian besar penelitian kualitatif (studi kasus, grounded research, penelitian tindakan) tidak memerlukan definisi operasional, cukup definisi konseptual saja (itu pun bersifat tentatif, jika diperlukan).

Konsep yang perlu disusun definisi operasionalnya lazimnya konsep yang bersifat variabel, konsep yang mengandung sifat “kebervariasian” (keragaman) berjenjang (kontinum). Prestasi belajar, misalnya, merupakan variabel yang mengandung keragaman jenjang tinggi, sedang, rendah (Prestasi belajar tinggi, prestasi belajar sedang, prestasi belajar rendah). Motivasi belajar juga merupakan variabel yang mengandung sifat keragaman berjenjang (motivasi tinggi, sedang, rendah). Hati-hati: mengenai motivasi belajar ya jangan mengutip teori motivasi Maslow, Herzberg, Teori X dan Y! Cari di buku-buku Psikologi Pendidikan (jangan yang salah juga memaknainya! Hehe . . . Banyak yang suka salah, sih! Mari tanya Manguni Si Cendekia, haha!)

Mengenai kupasan tentang variabel sudah diutarakan dalam tulisan tersendiri. Sila baca, Lur!

Sumber :
Amirin, Tatang M. (2009). “Konsep, definisi operasional, dan definisi konseptual.” tatangmanguny.wordpress.com

Selasa, 20 April 2010

Angket Mengukur dan Angket Mengungkap

Oleh Tatang M. Amirin;

Angket terbuka/tertutup; angket mengukur/mengungkap; kuantifikasi/kualifikasi data; validitas angket; definisi operasional konsep/konstruk; deskriptor/indikator konsep; construct validity

Angket, yang berasal dari bahasa Perancis enquete, salah satu artinya dalam bahasa Inggeris adalah investigation (penyelidikan). Angket itu dalam bahasa Inggeris dikenal pula dengan istilah questionnaire. Istilah ini diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi kuesioner, artinya daftar pertanyaan. Jadi, baik angket maupun kuesioner, sama-sama mengandung makna sebagai “daftar pertanyaan,” yaitu daftar (sejumlah) pertanyaan untuk menggali, menyelidiki, atau meneliti (menginvestagasi). Tegasnyadaftar pertanyaan untuk mengumpulkan data penelitian.

Teknik mengumpulkan data yang menggunakan “instrumen” berupa angket atau kuesioner disebut dengan teknik angket atau teknik kuesioner. Penggunaan istilah “teknik” angket dipandang para pakar lebih tepat dibandingkan istilah “metode” angket.

Selain teknik angket (kuesioner), pengumpulan data penelitian itu dapat pula menggunakan teknik-teknik lain, yaitu” (1) wawancara atau interviu (karena dilakukan dengan wawancara, yaitu mengajukan pertanyaan secara lisan), (2) observasi (karena menggunakan observasi atau pengamatan dengan pancaindera), (3) tes (karena menggunakan tes untuk “mengukur” sesuatu yang diteliti), dan (4) dokumenter (“berkait dengan dokumen,” karena menjadikan dokumen sebagai sumber data).

Istilah teknik “dokumenter” lebih tepat diguakan dibandingkan istilah dokumentasi. Dokumenter artinya berkait dengan dokumen, sedangkan dokumentasi artinya pendokumentasian (menjadikan sebagai dokumen).

Teknik dokumenter dalam berbagai literatur metodologi penelitian sangat amat jarang disebut-sebut. Dengan kata lain sebenarnya tidak ada teknik pengumpulan data yang disebut teknik dokumenter. Kenapa? Karena dokumen itu sumber data, bukan alat mengumpulkan data, seperti orang (jika ditanyai) merupakan sumber data, bukan teknik mengumpulkan data.

Setiap teknik ada “ketepatannya” masing-masing dalam atau untuk mengumpulkan data. Teknik mana yang patut (pas, tepat, cocok) digunakan untuk mengumpulkan data penelitian, tergantung pada: (1) jenis (macam, bentuk, wujud) data yang akan dikumpulkan, (2) sifat data (terstruktur ataukah tidak terstruktur), dan (3) dari sumber apa data itu dikumpulkan.

Data yang berupa perilaku, misalnya bagaimana guru melakukan pengajaran secara terpadu (integrated teaching–beberapa mata pelajaran dipadukan), paling cocok dihimpun dengan menggunakan teknik observasi, yaitu diamati perbuatan atau perilakunya.

Dengan melakukan wawancara (mengajukan pertanyaan lisan) pun sebenarnya data perbuatan guru mengajar terpadu itu bisa juga dihimpun. Jelasnya guru ditanyai bagaimana ia melakukan pengajaran terpadu. Akan tetapi, data yang dihimpun bisa “dangkal dan kering” karena hanya mengandalkan ceritera (“self report”) si guru. Pewawancara belum tentu bisa mempunyai gambaran konkrit tentang bagaimana guru itu mengajar. Ingat bahwa sesuatu yang “teragakan” (terlihat) itu akan lebih akurat daripada yang hanya “terceriterakan.” Dengan kata lain, melihat itu lebih nyata dari mendengar. Melihat sendiri keindahan danau atau situ jauh lebih akurat daripada mendengar ceritera orang bahwa danau atau situ itu indah. Cara bagaimana guru mengajar sudah barang tentu sangat amat tidak cocok sama sekali dihimpun datanya (informasinya) dengan menggunakan angket.

Jika data yang akan dihimpun hanya berkaitan dengan metode-metode mengajar apa saja yang paling sering digunakan guru, maka dengan angket tentu bisa. Kenapa? Karena metode-metode mengajar itu merupakan gejala “terstruktur,” yaitu macam-ragamnya tertentu dan terbatas jumlahnya. Dengan demikian, di dalam butir pertanyaan angket itu si peneliti dapat menuliskan nama-nama metode mengajar tersebut seluruhnya, kemudian responden (yang diteliti) tinggal memilih metode mana yang biasa atau sering digunakannya.

Sebelum lanjut, contoh gejala yang terstruktur lainnya misalnya tingkat pendidikan formal (SD, SLTP, SLTA, PT), dan pekerjaan (PNS, pegawai swasta, pedagang, petani dsb –walau banyak, tetap bisa disebut). Contoh lainnya intensitas (kekerapan) menonton sinetron (sering, kadang-kadang, tidak pernah), pemilikan kendaraan bermotor (tidak punya, punya satu, punya dua, punya tiga . . .).

Kembali ke pembicaraan awal. Jika macam-macam metode mengajar itu bersifat terstruktur, mengenai bagaimana (seperti apa) guru menggunakan metode mengajar merupakan sesuatu yang sama sekali tidak terstruktur. Menggunakan metode mengajar itu merupakan perbuatan, suatu proses, suatu kegiatan. Proses atau kegiatan itu akan “panjang-lebar” kalau diceriterakan. Di sisi lain, antara satu guru dan guru lainnya bisa berbeda cara atau gaya melakukannya, walaupun metodenya sama. Sama-sama menggunakan metode ceramah, misalnya, antara guru yang satu dan lainnya, bisa berbeda “perbuatannya.” Jadi, tidak tepat diungkap dengan menggunakan angket, karena angket harus singkat-padat.

Angket Tertutup dan Terbuka

Angket (daftar pertanyaan, kuesioner) itu lazim dibedakan menjadi angket tertutup dan angket terbuka. Disebut angket tertutup jika di dalam angket itu jawabannya sudah disediakan, responden (yang diberi angket) tinggal, bahkan wajib, memilih salah satu atau beberapa daripadanya. Contoh:

(*) Tingkat pendidikan formal tertinggi: (a) SD, (b) SLTP, (c) SLTA, (d) S1, (e) S2/S3.

Dalam butir angket itu sudah ada pilihan jawaban. Responden hanya boleh atau harus memilih salah satu daripadanya. Tidak ada (tertutup) kemungkinan responden untuk memilih jawaban lain.

Angket terbuka maksudnya responden terbuka untuk menjawab apa saja sesuai dengan pertanyaan nyang diajukan. Jadi, jawabannya pun bersifat terbuka, artinya bisa dijawab apa saja oleh responden, walau tetap dalam batas tertentu, tidak panjang dan lebar seperti jika memberikan jawaban lisan wawancara (berceritera). Contoh:

(*) Untuk menjelaskan cahaya merambat lurus , Bapak/Ibu menggunakan alat peraga berupa apa?

Jawaban: …………………………………………………………………………………………

Dalam “konsep” (istilah, sebutan) “cahaya bersifat merambat lurus” itu ada konsep (sebutan, istilah) yang sangat sulit diragakan, yaitu konsep “merambat” dan “lurus,” yaitu bahwa cahaya itu merambat, dan rambatan cahaya itu hanya lurus, tidak bisa bengkok atau melengkung. Meragakan “cahaya merambat” itu sulit sekali, memerlukan kecerdasan dan kreativitas guru yang tinggi. Tapi, bukan tidak mungkin ada yang bisa menjelaskan dan termasuk membuat alat peraganya. Itu sebabnya kenapa pertanyaan mengenai guru menggunakan alat peraga apa untuk meragakan perambatan cahaya yang lurus itu ditanyakan secara terbuka dalam angket, karena alat peraganya belum jelas dan tegas, belum tertentu (jenis atau nama-nama tertentu).

Sebenarnya data yang seperti itu akan sangat cocok jika dihimpun dengan “observasi,” yaitu dengan melihat langsung benda alat peraga yang digunakan dan bagaimana cara mengoperasikannya, bukan dengan angket. Dengan angket, bisa jadi tulisan penjelasan responden mengenai alat peraga itu tidak terpahami oleh peneliti, walau responden sudah berusaha menuliskannya dengan secermat mungkin (seperti Anda membaca tulisan saya ini, bisa jadi tak mudah paham juga).

Mungkin contoh di bawah ini yang paling cocok dibuat sebagai angket terbuka.

(*) Usia Bapak/Ibu saat ini . . . . . tahun.

(*) Penghasilan Bapak/Ibu per hari (misal untuk buruh angkut/gendong) rata-rata …………………………………….. rupiah.

Jawaban usia responden bisa juga dibuat dalam bentuk kelompok–kelompok (rentangan, “range”) demikian: Usia (a) 25-29, (b) 30-34, (c) 35-39, (d) 40-44, (e) 45 tahun lebih.

Jadi, responden tinggal memilih keadaannya itu sesuai dengan kelompok usia yang mana. Jadi, jika usianya 27 tahun, maka ia memilih kelompok (a). Jika usia 45 tahun, memilih kelompok (e).

Ada sisi lemah dengan membuat pilihan jawaban dengan pengelompokan seperti itu. Jika, misalnya, dari 100 responden ada 20 orang pada kelompok (rentang) usia 35-39 tahun, kedua puluh orang itu tidak diketahui dengan pasti berapa orang yang berumur 35 tahun, 36 tahun dan seterusnya.

Kedua, yang lebih parah lagi, jika dari 100 orang itu ada 48 orang pada kelompok 25-29 tahun, 32 orang pada kelompok 30-34 tahun, 9 orang pada kelompok 35-39 tahun, dan 11 orang pada kelompok 40-44 tahun, maka kelompok usia 45 tahun lebih jadi tidak ada isinya.

Mari kita susun ke bawah agar lebih jelas.

25-29 tahun 32 orang

30-34 tahun 48 orang

35-39 orang 9 orang

40-44 orang 11 orang

45 tahun lebih 0 orang

Jadi, keadaan sebenarnya responden berada di antara rentangan usia 25 tahun sampai dengan 44 tahun. Jika 11 orang pada kelompok usia 40-44 tahun itu sebenarnya yang berusia 40 tahun ada 5 orang, 41 tahun ada 4 orang, yang berumur 42 tahun 2 orang, dan yang berumur 43 dan 44 tahun tidak ada, maka rentangan usia itu jadinya hanya mulai 25 tahun sampai dengan 42 tahun saja.

Itulah sebabnya menjawab angket dengan mengisi umur yang sebenarnya akan jauh lebih akurat. Susunan pengelompokan dilakukan kemudian setelah data diolah. Jadi, jika ternyata rentangan usianya 25 tahun – 42 tahun saja, maka rentangannya akan menjadi 42 – 25 + 1 = 18. Jika akan dikelompokkan menjadi 5 kelompok, maka angka 18 itu ditambahi 2 (usia di bawah 25 dan di atas 42), menjadi: (a) 24-27 tahun, (b) 28 – 31 tahun, (c) 32 – 35 tahun, (d) 36 – 39 tahun, dan (e) 40 – 43 tahun.

Itu kalau akan dikelompok-kelompokkan.

Ada kalanya angket dibuat semi tertutup, artinya ada pilihan jawaban, tetapi responden diberi peluang (tidak tertutup) pula untuk menjawab lain dari yang sudah disediakan. Ini dilakukan jika diduga jawaban lain itu dalam kenyataan bisa ada (belum diketahui secara pasti oleh peneliti). Contoh:

(*) Pengembangan kemampuan profesional yang paling banyak dilakukan guru di sekolah ini adalah mengikuti: (a) KKG/MGMP, (b) diklat/penataran, (c) seminar/workshop, (d) studi lanjut, (e) [lainnya, sebutkan] . . . . . . . . . . . . .

Maksudnya, siapa tahu ada kegiatan lain yang diikuti guru untuk mengembangkan profesinya, misalnya (kalau ada: “professional club” diskusi rutin di sekolah mengenai PBM), dan itu bisa dituliskan pada baris kosong yang disediakan.

Angket Mengukur dan Mengungkap

Angket itu bisa pula dibedakan–ini tak ada dalam buku-buku–menjadi angket untuk mengukur (angket pengukuran), dan angket untuk mengungkap sesuatu (angket pengungkapan).

Ukur-mengukur itu berkait dengan “tinggi-rendah” atau bobot, misalnya intensitas (kekerapan) melakukan sesuatu (misalnya intensitas membaca literatur sebelum mengikuti perkuliahan). Dalam “bahasa kualitatif” (bukan bilangan) tinggi-rendah intensitas itu akan berupa: selalu – sering – agak sering – kadang-kadang – jarang – sangat jarang – tidak pernah.

Contoh lain yang “lugas” menggunakan istilah tinggi – rendah misalnya motivasi kerja atau belajar yang bisa dijenjangkan sebagai berikut: sangat tinggi – tinggi – sedang – agak rendah – sangat rendah.

Harap diperhatikan: Jenjang “tinggi – rendah” itu selalu ada titik tengah di antaranya. Jadi, jika perjenjangannya sangat sederhana, akan menjadi: tinggi – sedang – rendah; sering – kadang-kadang – jarang. Tidak bisa dibuat “hitam – putih” (dikotomi) menjadi tinggi – rendah, karena merupakan “variabel kontinum (berjenjang),” bukan “variabel diskrit” (bergolong, seperti hadir – tidak hadir; lulus – tidak lulus). Karena ada titik tengah itu, maka perjenjangan atau kategorisasinya tidak boleh menjadi: sangat tinggi – tinggi – rendah – sangat rendah (kategori “sedang” tidak ada). Agar mudah terpahami, kita buat berurutan ke bawah:

Yang benar Yang salah

Sangat tinggi Sangat tinggi

Tinggi Tinggi

Sedang Rendah

Rendah Sangat rendah

Sangat rendah

Berkaitan dengan ini hati-hati pula dengan kategori selalu, pernah, dan tidak pernah. Pertama, jangan menggunakan kategorisasi “pernah – tidak pernah” (hanya ada dua pilihan: pernah/tidak pernah), karena gejalanya bukan gejala diskrit, melainkan kontinum. Menyontek, misalnya, itu bukan gejala “pernah – tidak pernah.” Pernah itu bisa sekali, dua kali, tiga kali. Jadi gunakan “tidak pernah – sekali – dua kali – tiga kali – dst.”

Selain itu, jangan campuradukkan pernah – tidak pernah dengan sekali, dua kali, tiga kali dst. Contoh:

(*) Membaca literatur berbahasa asing dalam minggu ini: (a) tidak pernah, (b) pernah, (c) sekali, (d) dua kali, (e) tiga kali.

Jangan lupa, sekali, dua kali, tiga kali dsb itu termasuk pernah. Jadi, jika pernah satu kali membaca literatur berbahasa asing itu, dalam memilih jawaban angket tersebut akan mengisi (memilih) “pernah” atau memilih “sekali”?

Kategori selalu harus logis menunjukkan kegiatan yang senantiasa dilakukan. Contoh berikut salah:

(*) Membaca literatur berbahasa asing dalam minggu ini: (a) selalu, (b) sangat sering, (c) sering, (d) kadang-kadang, (e) jarang, (f) tidak pernah.

Mungkinkah orang membaca literatur “selalu,” artinya terus-menerus tanpa henti? Tidak, bukan. Ini berbeda dengan contoh berikut:

(*) Setiap hari sepulang sekolah apakah Anda menyempatkan mempelajari kembali pelajaran yang sudah diajarkan di sekolah? (a) selalu, (b) sering, (c) kadang-kadang, (d) jarang , (e) tidak pernah.

Ada kata “setiap hari sepulang sekolah” pada pertanyaan angket di atas. Jadi, bisa terjadi setiap hari sepulang sekolah selalu melakukan kegiatan dimaksud.

Awas: Setiap bulan Ramadan apakah Anda berpuasa? Hehe, karena Anda seorang Msulim yang taat, pasti Anda akan menjawab selalu. Yakin? apakah pada waktu umur dua tahun, satu tahun, dan masih bayi Anda juga berpuasa? Pastikan kalau begitu “kurun waktunya,” misalnya semenjak Anda menginjak usia remaja, atau “dalam lima tahun terakhir.” Contoh lain:

(*) Pada semester yang lalu, Apakah Bapak/Ibu membuat RPP setiap kali akan mengajar atau akan mengajarkan pokok bahasan tertentu?

Ukuran kualitatif “selalu, sering, kadang-kadang, jarang” itu sering dikuantifikasikan (diubah menjadi bilangan) agar mudah menghitungnya (menganalisisnya dengan statistik atau matematika sederhana). Misalnya selalu/sangat sering = 4, sering = 3, kadang-kadang = 2, jarang = 1, tidak pernah = 0.

Tidak pernah artinya sama sekali nihil, jadi skornya 0, bukan 1; sama dengan tidak punya uang sama sekali = punya n0l rupiah. Ini berbeda dengan sangat tinggi – tinggi – sedang – rendah – sangat rendah = 5 – 4 – 3 – 2 – 1 (terendah 1, bukan 0, karena rendah itu tetap mengandung ketinggian tertentu, tidak nol atau nihil ukuran tinggi).

Contoh angket mengukur dengan wujud seperti disebutkan di atas adalah:

(*) Mengikuti kegiatan KKG/MGMP: (a) sangat sering, (b) sering, (c) kadang-kadang, (d) jarang, (e) tidak pernah.

(*) Keinginan Anda untuk studi lanjut: (a) sangat tinggi, (b) tinggi, (c) sedang, (d) rendah, (e) sangat rendah.

Ada kelemahan model angket “sering – tidak sering” seperti itu, karena sering-tidak sering itu jadi sangat relatif. Artinya sering menurut (pada) seseorang bisa jadi jarang menurut (pada) orang lain. Akan lebih tepat jika kekerapan atau keseringan itu menggunakan angka. Contoh:

(*) Dalam semester ini mengikuti kegiatan KKG/MGMP sebanyak …… kali.

“Pengkualifikasian” menjadi sering – kadang-kadang dan sebagainya dari angket tersebut disesuaikan dengan data yang diperoleh (tertinggi dan terendahnya berapa kali). Misalnya terendah 0 kali dan tertinggi 8 kali. Maka, dapat dibuat kategorisasi [0/1-2/3-4/5-6/7-8] dengan penskoran 0 – 1 – 2 – 3 – 4. Ingat: nol ya tetap nol, skornya nol. Jangan dikelompokkan 0-1 = skor 1, 2-3 = 2 dst. Itu akan menjadikan (dari contoh mengikuti KKG/MGMP) yang tak pernah pun dapat skor 1, padahal tidak pernah ikut sama sekali. Ini yang sering pula membuat debat antar dosen pembimbing skripsi (KOK yang lainnya dikelompokkan dua-dua, yang nol kok tidak dikelompokkan?!!!) Padahal logikanya jelas: NOL YA NIHIL = NOL, LAINNYA TIDAK NIHIL = BERSKOR.

Kembali ke angket mengukur dan mengungkap.

Angket yang bersifat mengungkap maksudnya mengungkapkan fakta (sesuatu yang bersifat faktual), baik yang bersifat “kuantitatif” (bilangan: jumlah, banyak), maupun yang bersifat kualitatif (sifat keadaan, bukan bilangan). Contohnya tingkat pendidikan seperti telah disajikan di atas, jumlah anak yang dimiliki, macam pekerjaan, dan makanan yang dimakan setiap hari.

Ingat, data ungkapan itu sebagian bisa “dikuantitatifkan,” yaitu dibubuhkan angka atau skor kepadanya jika merupakan variabel kontinum atau yang berjenjang (tinggi – rendah, banyak – sedikit), misalnya SD = 1, SLTP =2, SLTA = 3, S1 = 4, S2/S3 = 5. Macam pekerjaan tidak bisa dikuantitifasikan seperti itu, karena bukan variabel berjenjang. Jadi tak bisa, misalnya PNS = 5, buruh = 1.

Validitas Angket (Indikator; Definisi Operasional)

Valid (sahih = shahih, Arab) itu artinya sah, absah, benar. Katakanlah tepat, begitu. Maksudnya, jika peneliti bertanyakan sesuatu, maka yang ditanyakan itu benar-benar tentang sesuatu itu, bukan yang lain.

Saya suka memberi contoh jika seseorang mengatakan (maaf, agak “saru” sedikit), “pantatnya cantik sekali,” tentu pernyataan itu tidak tepat. Jadi, salah atau tidak benar. Cantik itu mengenai wajah, bukan pantat. Pantat itu “bahenol,” gitu. Begitu pula jika mengatakan wajahnya seksi. Seksi itu untuk bodi, untuk tubuh, bukan untuk wajah.

Angket, baik yang mengukur, maupun yang mengungkap (begitu pula instrumen apapun yang digunakan untuk mengumpulkan data) pada dasarnya tentu harus valid atau sahih. Hanya saja, angket yang mengungkap (begitu pula pedoman wawancara dan observasi yang bersifat mengungkap–dalam bahasa lain suka disebut yang “fact finding”), karena relatif sederhana, tidak perlu ada uji validitas instrumen. Uji validitas instrumen–yang sebenarnya meminjam kelaziman dalam penyusunan butir-butir tes–hanya diperlukan oleh angket yang mengukur. Namun demikian, tidak berarti uji validitas itu harus berbau analisis statitisik, karena validitas itu tidak serta merta berkaitan dengan statistik. Statistik hanya salah satu alat untuk menguji validitas (kevalidan, kesahihan).

Pertama-tama, yang harus valid dulu itu adalah jabaran konsep (ingat konsep dalam arti “idea,” bukan “draft”) atau konstruk ke dalam satuan-satuan ukuran (yang akan diukur itu). Mari kita sebut jabaran konsep itu sebagai “deskriptor” konsep. Dalam hal tertentu, sesuai dengan macam konsep, akan disebut sebagai “indikator” konsep (penanda, tanda-tanda konsep). Ada yang menyebutnya dalam bahaasa Inggris sebagai “domain.” Contoh:

“Rajin belajar pangkal pandai.” Ini “teori” yang mengabstraksikan bahwa jika variabel X (intensitas belajar) tinggi (dengan sebutan rajin belajar), maka variabel Y (hasil belajar) juga akan tinggi (yang disebut dengan pandai).

Untuk bisa “melihat” apakah memang ada korelasi (kaitan, asosiasi) kerajinan belajar dengan kepandaian (pada seseorang murid: jika murid itu rajin belajar, maka murid itu akan pandai), maka kedua konsep (yang berupa variabel) itu harus diukur. Diukur apakah murid itu rajin (intensif) belajar ataukah malas (tidak intensif) belajar, dan diukur pula apakah hasil belajarnya tinggi (pandai) ataukah rendah (bodoh).

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah “bagaimana mengukur” kerajinan belajar dan kepandaian itu. Hati-hati: bukan dengan angket, dengan tes, dengan observasi. Itu alat ukurnya, bukan bagaimana mengukurnya. Yang dimaksudkan adalah apanya yang diukur, apa yang dijadikan patokan untuk mengukur. Dalam bahasa sederhana: Apa yang menjadi tanda-tanda (indikator) seseorang rajin belajar dan apa pula yang menjadi tanda-tanda seseorang itu pandai.

Nah, mari kita ubah dulu “teori nenek moyang Indonesia” tadi menjadi teori yang agak metodologis. “Rajin belajar pangkal pandai” kita ubah jadi “Intensitas belajar yang tinggi menghasilkan prestasi belajar yang tinggi.” Kita ubah lagi menjadi “Intensitas belajar berkorelasi dengan prestasi belajar.” Ubah lagi jadi “Ada korelasi antara intensitas belajar dan prestasi belajar”. Yang terakhir ini akan mencerminkan “korelasi positif” jika X tinggi – Y akan tinggi, jika X rendah – Y akan rendah (X = intensitas belajar, Y = prestasi belajar).

Jadi, muncul pertanyaan: Apa tanda-tanda orang yang belajarnya intensif (kerap, sering, “rajin”), dan apa pula tanda-tanda orang berprestasi belajar tinggi (“pandai”). Nah, mulailah kita berhadapan dengan “definisi operasional,” batasan pengertian mengenai sesuatu konsep atau konstruk yang “operasional,” yang terhadapnya “bisa dilakukan” pengukuran. Bayangkan jika dokter akan melakukan operasi, pasti yang akan dioperasi itu harus tegas jelas kasat mata. Dokter tak mungkin mengoperasi sakit hati (kalau bukan segumpal hati alias “liver” yang sakit).

Jadi, definisi operasional itu mudahnya dapat dikatakan sebagai rumusan perilaku yang bisa diamati sebagai perwujudan dari sesuatu konsep. Perilaku itu sendiri dapat berupa hasil perilaku (tanda sudah melakukan sesuatu). Pandai (dalam arti menguasai pelajaran) dapat diukur dari perilaku kemampuan menjawab atau mengerjakan soal dengan benar, mengerjakan sesuatu tugas terkait pelajaran dengan tepat, dan sebagainya.

Dengan instrumen apa “kerajinan belajar” dan “kepandaian” itu tepat diukur? Jawabnya, bisa dengan angket. Stop! Murid rajin belajar atau tidak, sebenarnya akan lebih tepat diobservasi (cek, ikuti perbuatan belajarnya–tanpa disadarinya bahwa sedang diamati). Kepandaian (hasil) belajar akan lebih tepat diukur dengan tes (tes lisan, tulis, atau perbuatan, sesuai dengan materi pelajarannya). Dengan angket? Ya tanya apakah “rajin” (sering, intensif) belajar. Ya tanya, apakah hasil belajarnya tinggi atau rendah (“Berapa nilai yang diperoleh dari pelajaran?”). Yakin dengan jawaban angket? Itu persoalan!

Jadi, itulah inti validitas angket. Benar atau tidak, tepat atau tidak, menjabarkan secara operasional sesuatu konsep atau konstruk. Itulah yang lazim disebut dengan “content validity“ (kesahihan isi). Uji validitas yang lainnya hanya kelanjutan demi kelebihyakinan dari “logika operasionalisasi konsep atau konstruk.”

Untuk jelasnya, “content validity” itu seperti dinyatkan berikut.

Content validity is illustrated using the following examples: Researchers aim to study mathematical learning and create a survey to test for mathematical skill. If these researchers only tested for multiplication and then drew conclusions from that survey, their study would not show content validity because it excludes other mathematical functions. (Writing@CSU-online; Colorado State University).

Kesahihan isi itu dapat dilukiskan dengan contoh berikut: Peneliti berkehendak meneliti hasil belajar Matematika. Untuk itu dirancanglah suatu survey untuk mengetes kemampuan matematika murid. Jika peneliti itu hanya mengetes kemampuan perkalian saja dan kemudian membuat simpulan dari survai itu (murid mampu bermatematika atau tidak mampu), maka penelitian yang mereka lakukan itu tidak sahih (tidak menunjukkan kesahihan isi), sebab tes yang mereka lakukan tidak menyertakan fungsi-fungsi matematika lainnya.

Jelasnya contoh di atas yaitu seseorang murid dikatakan mempunyai kemampuan Matematika (pintar Matematika) itu bukan hanya jika bisa menghitung perkalian saja, sebab masih ada “isi” yang disebut kemampuan bermatematika (pintar Matematika) yang lainnya. Jadi, tes yang disusun itu tidak mencerminkan (tidak memuat) semua “isi” dari “konsep” kemampuan Matematika.

Nah, jika ada angket yang akan mengungkap tingkat pendidikan tertinggi yang pernah dicapai, banyaknya anak yang dimiliki, usia saat ini, jenis kelamin, kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme, pemanfaatan alat peraga dan media dalam PBM dan sebagainya, perlukan ada uji validitas? Konsep “tingkat pendidikan tertinggi, anak, usia, jenis kelamin, kegiatan, pemanfaatan alat peraga dan media” yang akan dioperasionalkan itu apanya? Tidak ada. Itu konsep yang sudah amat jelas, tak perlu didefinisikan atau diberi batasan pengertian agar semua orang sama pemahaman arti mengenainya, alias tidak akan punya paham pengertian lain mengenainya.

Sampai sini dulu.