Minggu, 25 April 2010

Analisis Data: Kuantitatif ataukah Kualitatif?

Tatang M. Amirin; 8 Maret 2010

Tulisan ini sebenarnya sekedar mengulang secara khusus apa yang sudah dipaparkan dalam tulisan lain. Kenapa? Karena masih tidak sedikit yang bingung manakala sudah akan memikirkan analisis data, menggunakan teknik-teknik analisis kuantitatif, ataukah kualitatif.

Kita ulang dulu sebentar. Data-data yang akan dianalisis jika berupa data bilangan atau yang dijadikan bilangan, maka analisisnya disebut analisis kuantitatif (quantity itu artinya banyaknya atau jumlahnya). Ingat, bilangan tidak sama dengan angka, walaupun bilangan itu angka. Tidak semua angka merupakan bilangan (nomor HP itu angka, tapi bukan bilangan, tak bisa dibilang atau dihitung). Bilangan itu angka-angka yang bisa dibilang (dihitung, dijumlah, dikalikan, dibagi dsb). Angka-angkayang berupa bilangan itu diperoleh dari hasil menghitung dan atau mengukur.

Menghitung, misalnya banyaknya karyawan yang harus disupervisi, banyaknya guru yang diikutsertakan dalam kegiatan pelatihan, dan banyaknya uang yang diperoleh dari pekerjaan.

Mengukur, misalnya tinggi badan, berat badan, luas tanah yang dimiliki, kekuatan tangan mengangkat barang (dalam hitungan kilogram, bukan banyaknya barang yang bisa diangkat), dan juga “penguasaan materi pelajaran” (juga motivasi, minat, intensitas belajar, kedisiplinan kerja).

Yang suka membingungkan adalah contoh di bawah ini.

Seorang murid diminta mengerjakan soal sebanyak 100 butir. Setelah dikerjakan murid, soal diperiksa. Jawaban yang betul ada 82 buah, yang salah 18 buah. Simpulannya apa? Kemungkinannya sebagai berikut.

1. Murid dapat mengerjakan soal dengan benar 82 buah dari 100 buah.

2. Murid dapat mengerjakan soal dengan benar sebanyak 82%.

3. Murid mendapatkan nilai (skor) 8,2 (karena jika bisa menjawab semuanya dengan benar nilainya 10).

4. Murid itu termasuk pintar, karena bisa menjawab 82% soal dengan benar atau mendapat nilai 8,2. Sebutan pintar merupakan data kualitatif — “quality” selain berarti mutu, berarti pula sifat. Jadi, pintar merupakan “kualifikasi” (pengkualitatifan — “pensifatan”) data kuantitas (banyaknya soal yang bisa dikerjakan dengan benar, atau skor).

Contoh tadi merupakan contoh pengukuran, yaitu mengukur kemampuan murid mengerjakan soal, atau mengukur seberapa banyak materi pelajaran dikuasai oleh murid.

Penguasaan materi pelajaran oleh murid aslinya “data kualitatif” (bukan bilangan). Ambil contoh soal nomor 1 (sekedar contoh).

(*) 33 x 4 = . . . .

Hati-hati! Yang dituliskan itu angka-angka, hitungan, bilangan. Tapi, yang jadi data bukan angka hasil hitungannya (dalam hal ini 132), melainkan jawabannya itu benar ataukah salah (benar – salah). Salah – benar itu bukan bilangan. Jadi, itu “data kualitatif.” Sederhana, bukan?!

Lalu, kenapa menjadi data kuantitatif seperti contoh “analisis” di atas? Itu karena (khusus dalam contoh ini) jika murid menjawab benar diberi skor 1, jika salah diberi skor 0 (benar = 1, salah = 0). Ini “kuantifikasi” (pengubahan menjadi bilangan) data yang aslinya “kualitatif.” Nah, karena murid tadi bisa menjawab benar 82 soal, maka ia mendapatkan skor 82. Angka 82 ini diubah (karena nilai final “ulangan” berkisaran antara 0 sampai dengan 10 saja), menjadi 8,2.

Jika ada 10 orang anak mengerjakan 10 soal dan yang masing-masing mendapatkan nilai 8 / 7 /7 /7 / 7 /6 / 6 / 6 / 5 /5, maka, simpulannya bisa:

(1) ada 4 orang anak (4 dari 10 = 4/10 x 100% = 40%) mendapatkan nilai 7 ); 3 orang anak (30%) mendapatkan nilai 6, 2 orang anak (20 %) mendapatkan nilai 5, dan 1 orang anak (10%) mendapatkan nilai 8;

(2) jika nilai 5 tidak lulus ulangan, maka ada 8 (80%) anak yang lulus, dan 2 (20%) anak yang tidak lulus – lulus merupakan data kualitatif.

(3) rerata nilai yang diperoleh anak-anak itu 64 : 10 = 6,4. Jadi, relatif rendah — dari skor tertinggi 10 (“rendah” merupakan “kualifikasi” atau pensifatan dari data kuantitatif 6,4).

Nah, yang suka membingungkan adalah jika ada rumus yang menghitung persentase skor (nilai); nilai dipersentasekan. Dengan jumlah nilai dari 10 anak 64, maka

(1) Rumus aneh untuk menghitung persentase total nilai (64) dibagi jumlah anak (10) kali seratus persen = 64/10 x 100% = 640% (Bilangan apa, ini?!).

(2) Rumus aneh juga, dan mubazir, jika persentasenya menjadi total nilai yang diperoleh (64) dibagi total nilai yang seharusnya dicapai (10 x 10 = 100) dikalikan seratus persen = 64/100 x 100% = 64% ( = 64 : 100 = 6,4). Nilai 6,4 itu kan nilai rerata yang sudah diketahui. Persen untuk apa?

Sekarang mari kita ubah “jawaban” terhadap soal itu (dengan contoh lain) menjadi jawaban pertanyaan pengumpulan data (bisa dengan angket, wawancara, ataupun observasi dan dokumentasi).

Pertanyaan: “Apa yang biasa dimakan saat sarapan pagi?”

Jawabannya (dari 10 orang yang ditanya atau responden) bisa: Nasi goreng 5 orang, nasi gudeg 2 orang, roti bakar 1 orang, minum susu saja 1 orang, dan mie rebus/goreng 2 orang.

Jawaban (data) nasi goreng, gudeg, roti, susu, dan mie itu semuanya bukan bilangan (jadi “kualitatif”). Jadi, jika dipaparkan secara kualitatif, maka akan (misalnya) berbunyi “Yang dijadikan sajian sarapan pagi orang-orang di . . . adalah nasi goreng, roti bakar, susu, dan mie rebus/goreng. Artinya, tidak ada yang makan nasi putih dan sayur lodeh, nasi putih dan telur goreng dan lain-lain. Hanya yang disebut di atas saja.

Bisakah dianalisis secara kuantitatif? Tentu! Kenapa? Karena ada sejumlah orang (sebanyak 10 orang) yang “melakukan kegiatan sarapan pagi.” Jumlah 10 orang itu merupakan bilangan, merupakan data kuantitatif. Data dari 10 orang itu yang dianalisis. Analisisnya?

(1) Ada 5 orang (dari 10 orang = 50%) yang makan nasi goreng, 2 orang (20%) nasi gudeg, 2 orang (20%) pula yang makan mie rebus/godog, dan 1 orang (10%) yang hanya minum susu saja (tanpa makanan).

(2) Sebagian besar (50%) makan nasi goreng (makan lainnya 20% ke bawah).

Nah, jadi, analisis data itu akan kuantitatif ataukah kualitatif, tergantung pada “data apa” yang akan dianalisis. Yang harus diingat-ingat betul adalah contoh terakhir tadi. Jawaban pertanyaan pengumpulan datanya (dari orang per orang) memang bersifat kualitatif (apa yang dimakan), akan tetapi analisisnya kuantitatif (karena yang sebenarnya dianalisis adalah “responden sarapan apa”).

Jadi, dalam kasus lain bisa responden (misalnya perpustakaan sekolah yang “dipersonifikasikan”) melakukan dengan cara bagaimana (memperoleh koleksi perpustakaan dengan membeli, tukar menukar, pinjam, hibah, titipan). Atau responden mengolah sesuatu dengan cara apa (guru-guru “mengajar murid” dengan metode apa: ceramah, diskusi, demonstrasi, inkuari, kerja kelompok). Atau guru SD kelas bawah (I-III) menggunakan pendekatan tematik atau tidak (jawabannya menggunakan – tidak menggunakan). Yang dianalisis adalah banyaknya responden (subjek penelitian) yang menggunakan cara atau metode tertentu (mungkin dalam bentuk persentase).

Persoalan yang menarik juga dalah adakah kaitan alat (teknik) pengumpul data dengan teknik analisis data? Maksudnya apakah hanya data dari angket saja yang bisa dianalisis secara kuantitatif, data dari teknik pengumpulan data lainnya pasti kualitatif? Mari kita gambarkan dengan contoh pertanyaan pengumpulan datanya dari tiap teknik pengumpulan data.

Angket:

(1) Jumlah kendaraan bermotor yang dimiliki . . . buah. (Kuantitatif, bilangan)

(2) Cara memperoleh kendaraan bermotor: (a) tunai, (b) kredit. (Kualitatif, bukan bilangan).

Wawancara:

(1) Berapa banyak kendaraan bermotor yang dimiliki? (Bilangan, kuantitatif)

(2) Memperoleh kendaraan bermotor itu dengan tunai ataukah kredit? (Kualitatif, bukan bilangan).

Dokumentasi:

(1) Daftar presensi (kehadiran) karyawan kantor. (Bilangan kehadiran “ngantor;” kuantitatif).

(2) Catatan pekerjaan yang sudah diselesaikan petugas. (“Nama-nama pekerjaan;” bukan bilangan, kualitatif).

Observasi:

(1) Dilihat — ada berapa ekor sapi di kandang responden. (bilangan, kuantitatif).

(2) Dilihat — makanan apa yang diberikan kepada sapi peliharaan responden. (Jenis makanan, bukan bilangan, kualitatif).

Tes:

(1) Tugas: Lari cepat 100 meter. Berapa detik? (Bilangan ukuran kecepatan, kuantitatif).

(2) Tes hasil belajar: Apa ibu kota Kabupaten Sleman? (Nama, bukan bilangan, kualitatif).

Semoga jadi lebih benderang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar