Selasa, 20 April 2010

Angket Mengukur dan Angket Mengungkap

Oleh Tatang M. Amirin;

Angket terbuka/tertutup; angket mengukur/mengungkap; kuantifikasi/kualifikasi data; validitas angket; definisi operasional konsep/konstruk; deskriptor/indikator konsep; construct validity

Angket, yang berasal dari bahasa Perancis enquete, salah satu artinya dalam bahasa Inggeris adalah investigation (penyelidikan). Angket itu dalam bahasa Inggeris dikenal pula dengan istilah questionnaire. Istilah ini diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi kuesioner, artinya daftar pertanyaan. Jadi, baik angket maupun kuesioner, sama-sama mengandung makna sebagai “daftar pertanyaan,” yaitu daftar (sejumlah) pertanyaan untuk menggali, menyelidiki, atau meneliti (menginvestagasi). Tegasnyadaftar pertanyaan untuk mengumpulkan data penelitian.

Teknik mengumpulkan data yang menggunakan “instrumen” berupa angket atau kuesioner disebut dengan teknik angket atau teknik kuesioner. Penggunaan istilah “teknik” angket dipandang para pakar lebih tepat dibandingkan istilah “metode” angket.

Selain teknik angket (kuesioner), pengumpulan data penelitian itu dapat pula menggunakan teknik-teknik lain, yaitu” (1) wawancara atau interviu (karena dilakukan dengan wawancara, yaitu mengajukan pertanyaan secara lisan), (2) observasi (karena menggunakan observasi atau pengamatan dengan pancaindera), (3) tes (karena menggunakan tes untuk “mengukur” sesuatu yang diteliti), dan (4) dokumenter (“berkait dengan dokumen,” karena menjadikan dokumen sebagai sumber data).

Istilah teknik “dokumenter” lebih tepat diguakan dibandingkan istilah dokumentasi. Dokumenter artinya berkait dengan dokumen, sedangkan dokumentasi artinya pendokumentasian (menjadikan sebagai dokumen).

Teknik dokumenter dalam berbagai literatur metodologi penelitian sangat amat jarang disebut-sebut. Dengan kata lain sebenarnya tidak ada teknik pengumpulan data yang disebut teknik dokumenter. Kenapa? Karena dokumen itu sumber data, bukan alat mengumpulkan data, seperti orang (jika ditanyai) merupakan sumber data, bukan teknik mengumpulkan data.

Setiap teknik ada “ketepatannya” masing-masing dalam atau untuk mengumpulkan data. Teknik mana yang patut (pas, tepat, cocok) digunakan untuk mengumpulkan data penelitian, tergantung pada: (1) jenis (macam, bentuk, wujud) data yang akan dikumpulkan, (2) sifat data (terstruktur ataukah tidak terstruktur), dan (3) dari sumber apa data itu dikumpulkan.

Data yang berupa perilaku, misalnya bagaimana guru melakukan pengajaran secara terpadu (integrated teaching–beberapa mata pelajaran dipadukan), paling cocok dihimpun dengan menggunakan teknik observasi, yaitu diamati perbuatan atau perilakunya.

Dengan melakukan wawancara (mengajukan pertanyaan lisan) pun sebenarnya data perbuatan guru mengajar terpadu itu bisa juga dihimpun. Jelasnya guru ditanyai bagaimana ia melakukan pengajaran terpadu. Akan tetapi, data yang dihimpun bisa “dangkal dan kering” karena hanya mengandalkan ceritera (“self report”) si guru. Pewawancara belum tentu bisa mempunyai gambaran konkrit tentang bagaimana guru itu mengajar. Ingat bahwa sesuatu yang “teragakan” (terlihat) itu akan lebih akurat daripada yang hanya “terceriterakan.” Dengan kata lain, melihat itu lebih nyata dari mendengar. Melihat sendiri keindahan danau atau situ jauh lebih akurat daripada mendengar ceritera orang bahwa danau atau situ itu indah. Cara bagaimana guru mengajar sudah barang tentu sangat amat tidak cocok sama sekali dihimpun datanya (informasinya) dengan menggunakan angket.

Jika data yang akan dihimpun hanya berkaitan dengan metode-metode mengajar apa saja yang paling sering digunakan guru, maka dengan angket tentu bisa. Kenapa? Karena metode-metode mengajar itu merupakan gejala “terstruktur,” yaitu macam-ragamnya tertentu dan terbatas jumlahnya. Dengan demikian, di dalam butir pertanyaan angket itu si peneliti dapat menuliskan nama-nama metode mengajar tersebut seluruhnya, kemudian responden (yang diteliti) tinggal memilih metode mana yang biasa atau sering digunakannya.

Sebelum lanjut, contoh gejala yang terstruktur lainnya misalnya tingkat pendidikan formal (SD, SLTP, SLTA, PT), dan pekerjaan (PNS, pegawai swasta, pedagang, petani dsb –walau banyak, tetap bisa disebut). Contoh lainnya intensitas (kekerapan) menonton sinetron (sering, kadang-kadang, tidak pernah), pemilikan kendaraan bermotor (tidak punya, punya satu, punya dua, punya tiga . . .).

Kembali ke pembicaraan awal. Jika macam-macam metode mengajar itu bersifat terstruktur, mengenai bagaimana (seperti apa) guru menggunakan metode mengajar merupakan sesuatu yang sama sekali tidak terstruktur. Menggunakan metode mengajar itu merupakan perbuatan, suatu proses, suatu kegiatan. Proses atau kegiatan itu akan “panjang-lebar” kalau diceriterakan. Di sisi lain, antara satu guru dan guru lainnya bisa berbeda cara atau gaya melakukannya, walaupun metodenya sama. Sama-sama menggunakan metode ceramah, misalnya, antara guru yang satu dan lainnya, bisa berbeda “perbuatannya.” Jadi, tidak tepat diungkap dengan menggunakan angket, karena angket harus singkat-padat.

Angket Tertutup dan Terbuka

Angket (daftar pertanyaan, kuesioner) itu lazim dibedakan menjadi angket tertutup dan angket terbuka. Disebut angket tertutup jika di dalam angket itu jawabannya sudah disediakan, responden (yang diberi angket) tinggal, bahkan wajib, memilih salah satu atau beberapa daripadanya. Contoh:

(*) Tingkat pendidikan formal tertinggi: (a) SD, (b) SLTP, (c) SLTA, (d) S1, (e) S2/S3.

Dalam butir angket itu sudah ada pilihan jawaban. Responden hanya boleh atau harus memilih salah satu daripadanya. Tidak ada (tertutup) kemungkinan responden untuk memilih jawaban lain.

Angket terbuka maksudnya responden terbuka untuk menjawab apa saja sesuai dengan pertanyaan nyang diajukan. Jadi, jawabannya pun bersifat terbuka, artinya bisa dijawab apa saja oleh responden, walau tetap dalam batas tertentu, tidak panjang dan lebar seperti jika memberikan jawaban lisan wawancara (berceritera). Contoh:

(*) Untuk menjelaskan cahaya merambat lurus , Bapak/Ibu menggunakan alat peraga berupa apa?

Jawaban: …………………………………………………………………………………………

Dalam “konsep” (istilah, sebutan) “cahaya bersifat merambat lurus” itu ada konsep (sebutan, istilah) yang sangat sulit diragakan, yaitu konsep “merambat” dan “lurus,” yaitu bahwa cahaya itu merambat, dan rambatan cahaya itu hanya lurus, tidak bisa bengkok atau melengkung. Meragakan “cahaya merambat” itu sulit sekali, memerlukan kecerdasan dan kreativitas guru yang tinggi. Tapi, bukan tidak mungkin ada yang bisa menjelaskan dan termasuk membuat alat peraganya. Itu sebabnya kenapa pertanyaan mengenai guru menggunakan alat peraga apa untuk meragakan perambatan cahaya yang lurus itu ditanyakan secara terbuka dalam angket, karena alat peraganya belum jelas dan tegas, belum tertentu (jenis atau nama-nama tertentu).

Sebenarnya data yang seperti itu akan sangat cocok jika dihimpun dengan “observasi,” yaitu dengan melihat langsung benda alat peraga yang digunakan dan bagaimana cara mengoperasikannya, bukan dengan angket. Dengan angket, bisa jadi tulisan penjelasan responden mengenai alat peraga itu tidak terpahami oleh peneliti, walau responden sudah berusaha menuliskannya dengan secermat mungkin (seperti Anda membaca tulisan saya ini, bisa jadi tak mudah paham juga).

Mungkin contoh di bawah ini yang paling cocok dibuat sebagai angket terbuka.

(*) Usia Bapak/Ibu saat ini . . . . . tahun.

(*) Penghasilan Bapak/Ibu per hari (misal untuk buruh angkut/gendong) rata-rata …………………………………….. rupiah.

Jawaban usia responden bisa juga dibuat dalam bentuk kelompok–kelompok (rentangan, “range”) demikian: Usia (a) 25-29, (b) 30-34, (c) 35-39, (d) 40-44, (e) 45 tahun lebih.

Jadi, responden tinggal memilih keadaannya itu sesuai dengan kelompok usia yang mana. Jadi, jika usianya 27 tahun, maka ia memilih kelompok (a). Jika usia 45 tahun, memilih kelompok (e).

Ada sisi lemah dengan membuat pilihan jawaban dengan pengelompokan seperti itu. Jika, misalnya, dari 100 responden ada 20 orang pada kelompok (rentang) usia 35-39 tahun, kedua puluh orang itu tidak diketahui dengan pasti berapa orang yang berumur 35 tahun, 36 tahun dan seterusnya.

Kedua, yang lebih parah lagi, jika dari 100 orang itu ada 48 orang pada kelompok 25-29 tahun, 32 orang pada kelompok 30-34 tahun, 9 orang pada kelompok 35-39 tahun, dan 11 orang pada kelompok 40-44 tahun, maka kelompok usia 45 tahun lebih jadi tidak ada isinya.

Mari kita susun ke bawah agar lebih jelas.

25-29 tahun 32 orang

30-34 tahun 48 orang

35-39 orang 9 orang

40-44 orang 11 orang

45 tahun lebih 0 orang

Jadi, keadaan sebenarnya responden berada di antara rentangan usia 25 tahun sampai dengan 44 tahun. Jika 11 orang pada kelompok usia 40-44 tahun itu sebenarnya yang berusia 40 tahun ada 5 orang, 41 tahun ada 4 orang, yang berumur 42 tahun 2 orang, dan yang berumur 43 dan 44 tahun tidak ada, maka rentangan usia itu jadinya hanya mulai 25 tahun sampai dengan 42 tahun saja.

Itulah sebabnya menjawab angket dengan mengisi umur yang sebenarnya akan jauh lebih akurat. Susunan pengelompokan dilakukan kemudian setelah data diolah. Jadi, jika ternyata rentangan usianya 25 tahun – 42 tahun saja, maka rentangannya akan menjadi 42 – 25 + 1 = 18. Jika akan dikelompokkan menjadi 5 kelompok, maka angka 18 itu ditambahi 2 (usia di bawah 25 dan di atas 42), menjadi: (a) 24-27 tahun, (b) 28 – 31 tahun, (c) 32 – 35 tahun, (d) 36 – 39 tahun, dan (e) 40 – 43 tahun.

Itu kalau akan dikelompok-kelompokkan.

Ada kalanya angket dibuat semi tertutup, artinya ada pilihan jawaban, tetapi responden diberi peluang (tidak tertutup) pula untuk menjawab lain dari yang sudah disediakan. Ini dilakukan jika diduga jawaban lain itu dalam kenyataan bisa ada (belum diketahui secara pasti oleh peneliti). Contoh:

(*) Pengembangan kemampuan profesional yang paling banyak dilakukan guru di sekolah ini adalah mengikuti: (a) KKG/MGMP, (b) diklat/penataran, (c) seminar/workshop, (d) studi lanjut, (e) [lainnya, sebutkan] . . . . . . . . . . . . .

Maksudnya, siapa tahu ada kegiatan lain yang diikuti guru untuk mengembangkan profesinya, misalnya (kalau ada: “professional club” diskusi rutin di sekolah mengenai PBM), dan itu bisa dituliskan pada baris kosong yang disediakan.

Angket Mengukur dan Mengungkap

Angket itu bisa pula dibedakan–ini tak ada dalam buku-buku–menjadi angket untuk mengukur (angket pengukuran), dan angket untuk mengungkap sesuatu (angket pengungkapan).

Ukur-mengukur itu berkait dengan “tinggi-rendah” atau bobot, misalnya intensitas (kekerapan) melakukan sesuatu (misalnya intensitas membaca literatur sebelum mengikuti perkuliahan). Dalam “bahasa kualitatif” (bukan bilangan) tinggi-rendah intensitas itu akan berupa: selalu – sering – agak sering – kadang-kadang – jarang – sangat jarang – tidak pernah.

Contoh lain yang “lugas” menggunakan istilah tinggi – rendah misalnya motivasi kerja atau belajar yang bisa dijenjangkan sebagai berikut: sangat tinggi – tinggi – sedang – agak rendah – sangat rendah.

Harap diperhatikan: Jenjang “tinggi – rendah” itu selalu ada titik tengah di antaranya. Jadi, jika perjenjangannya sangat sederhana, akan menjadi: tinggi – sedang – rendah; sering – kadang-kadang – jarang. Tidak bisa dibuat “hitam – putih” (dikotomi) menjadi tinggi – rendah, karena merupakan “variabel kontinum (berjenjang),” bukan “variabel diskrit” (bergolong, seperti hadir – tidak hadir; lulus – tidak lulus). Karena ada titik tengah itu, maka perjenjangan atau kategorisasinya tidak boleh menjadi: sangat tinggi – tinggi – rendah – sangat rendah (kategori “sedang” tidak ada). Agar mudah terpahami, kita buat berurutan ke bawah:

Yang benar Yang salah

Sangat tinggi Sangat tinggi

Tinggi Tinggi

Sedang Rendah

Rendah Sangat rendah

Sangat rendah

Berkaitan dengan ini hati-hati pula dengan kategori selalu, pernah, dan tidak pernah. Pertama, jangan menggunakan kategorisasi “pernah – tidak pernah” (hanya ada dua pilihan: pernah/tidak pernah), karena gejalanya bukan gejala diskrit, melainkan kontinum. Menyontek, misalnya, itu bukan gejala “pernah – tidak pernah.” Pernah itu bisa sekali, dua kali, tiga kali. Jadi gunakan “tidak pernah – sekali – dua kali – tiga kali – dst.”

Selain itu, jangan campuradukkan pernah – tidak pernah dengan sekali, dua kali, tiga kali dst. Contoh:

(*) Membaca literatur berbahasa asing dalam minggu ini: (a) tidak pernah, (b) pernah, (c) sekali, (d) dua kali, (e) tiga kali.

Jangan lupa, sekali, dua kali, tiga kali dsb itu termasuk pernah. Jadi, jika pernah satu kali membaca literatur berbahasa asing itu, dalam memilih jawaban angket tersebut akan mengisi (memilih) “pernah” atau memilih “sekali”?

Kategori selalu harus logis menunjukkan kegiatan yang senantiasa dilakukan. Contoh berikut salah:

(*) Membaca literatur berbahasa asing dalam minggu ini: (a) selalu, (b) sangat sering, (c) sering, (d) kadang-kadang, (e) jarang, (f) tidak pernah.

Mungkinkah orang membaca literatur “selalu,” artinya terus-menerus tanpa henti? Tidak, bukan. Ini berbeda dengan contoh berikut:

(*) Setiap hari sepulang sekolah apakah Anda menyempatkan mempelajari kembali pelajaran yang sudah diajarkan di sekolah? (a) selalu, (b) sering, (c) kadang-kadang, (d) jarang , (e) tidak pernah.

Ada kata “setiap hari sepulang sekolah” pada pertanyaan angket di atas. Jadi, bisa terjadi setiap hari sepulang sekolah selalu melakukan kegiatan dimaksud.

Awas: Setiap bulan Ramadan apakah Anda berpuasa? Hehe, karena Anda seorang Msulim yang taat, pasti Anda akan menjawab selalu. Yakin? apakah pada waktu umur dua tahun, satu tahun, dan masih bayi Anda juga berpuasa? Pastikan kalau begitu “kurun waktunya,” misalnya semenjak Anda menginjak usia remaja, atau “dalam lima tahun terakhir.” Contoh lain:

(*) Pada semester yang lalu, Apakah Bapak/Ibu membuat RPP setiap kali akan mengajar atau akan mengajarkan pokok bahasan tertentu?

Ukuran kualitatif “selalu, sering, kadang-kadang, jarang” itu sering dikuantifikasikan (diubah menjadi bilangan) agar mudah menghitungnya (menganalisisnya dengan statistik atau matematika sederhana). Misalnya selalu/sangat sering = 4, sering = 3, kadang-kadang = 2, jarang = 1, tidak pernah = 0.

Tidak pernah artinya sama sekali nihil, jadi skornya 0, bukan 1; sama dengan tidak punya uang sama sekali = punya n0l rupiah. Ini berbeda dengan sangat tinggi – tinggi – sedang – rendah – sangat rendah = 5 – 4 – 3 – 2 – 1 (terendah 1, bukan 0, karena rendah itu tetap mengandung ketinggian tertentu, tidak nol atau nihil ukuran tinggi).

Contoh angket mengukur dengan wujud seperti disebutkan di atas adalah:

(*) Mengikuti kegiatan KKG/MGMP: (a) sangat sering, (b) sering, (c) kadang-kadang, (d) jarang, (e) tidak pernah.

(*) Keinginan Anda untuk studi lanjut: (a) sangat tinggi, (b) tinggi, (c) sedang, (d) rendah, (e) sangat rendah.

Ada kelemahan model angket “sering – tidak sering” seperti itu, karena sering-tidak sering itu jadi sangat relatif. Artinya sering menurut (pada) seseorang bisa jadi jarang menurut (pada) orang lain. Akan lebih tepat jika kekerapan atau keseringan itu menggunakan angka. Contoh:

(*) Dalam semester ini mengikuti kegiatan KKG/MGMP sebanyak …… kali.

“Pengkualifikasian” menjadi sering – kadang-kadang dan sebagainya dari angket tersebut disesuaikan dengan data yang diperoleh (tertinggi dan terendahnya berapa kali). Misalnya terendah 0 kali dan tertinggi 8 kali. Maka, dapat dibuat kategorisasi [0/1-2/3-4/5-6/7-8] dengan penskoran 0 – 1 – 2 – 3 – 4. Ingat: nol ya tetap nol, skornya nol. Jangan dikelompokkan 0-1 = skor 1, 2-3 = 2 dst. Itu akan menjadikan (dari contoh mengikuti KKG/MGMP) yang tak pernah pun dapat skor 1, padahal tidak pernah ikut sama sekali. Ini yang sering pula membuat debat antar dosen pembimbing skripsi (KOK yang lainnya dikelompokkan dua-dua, yang nol kok tidak dikelompokkan?!!!) Padahal logikanya jelas: NOL YA NIHIL = NOL, LAINNYA TIDAK NIHIL = BERSKOR.

Kembali ke angket mengukur dan mengungkap.

Angket yang bersifat mengungkap maksudnya mengungkapkan fakta (sesuatu yang bersifat faktual), baik yang bersifat “kuantitatif” (bilangan: jumlah, banyak), maupun yang bersifat kualitatif (sifat keadaan, bukan bilangan). Contohnya tingkat pendidikan seperti telah disajikan di atas, jumlah anak yang dimiliki, macam pekerjaan, dan makanan yang dimakan setiap hari.

Ingat, data ungkapan itu sebagian bisa “dikuantitatifkan,” yaitu dibubuhkan angka atau skor kepadanya jika merupakan variabel kontinum atau yang berjenjang (tinggi – rendah, banyak – sedikit), misalnya SD = 1, SLTP =2, SLTA = 3, S1 = 4, S2/S3 = 5. Macam pekerjaan tidak bisa dikuantitifasikan seperti itu, karena bukan variabel berjenjang. Jadi tak bisa, misalnya PNS = 5, buruh = 1.

Validitas Angket (Indikator; Definisi Operasional)

Valid (sahih = shahih, Arab) itu artinya sah, absah, benar. Katakanlah tepat, begitu. Maksudnya, jika peneliti bertanyakan sesuatu, maka yang ditanyakan itu benar-benar tentang sesuatu itu, bukan yang lain.

Saya suka memberi contoh jika seseorang mengatakan (maaf, agak “saru” sedikit), “pantatnya cantik sekali,” tentu pernyataan itu tidak tepat. Jadi, salah atau tidak benar. Cantik itu mengenai wajah, bukan pantat. Pantat itu “bahenol,” gitu. Begitu pula jika mengatakan wajahnya seksi. Seksi itu untuk bodi, untuk tubuh, bukan untuk wajah.

Angket, baik yang mengukur, maupun yang mengungkap (begitu pula instrumen apapun yang digunakan untuk mengumpulkan data) pada dasarnya tentu harus valid atau sahih. Hanya saja, angket yang mengungkap (begitu pula pedoman wawancara dan observasi yang bersifat mengungkap–dalam bahasa lain suka disebut yang “fact finding”), karena relatif sederhana, tidak perlu ada uji validitas instrumen. Uji validitas instrumen–yang sebenarnya meminjam kelaziman dalam penyusunan butir-butir tes–hanya diperlukan oleh angket yang mengukur. Namun demikian, tidak berarti uji validitas itu harus berbau analisis statitisik, karena validitas itu tidak serta merta berkaitan dengan statistik. Statistik hanya salah satu alat untuk menguji validitas (kevalidan, kesahihan).

Pertama-tama, yang harus valid dulu itu adalah jabaran konsep (ingat konsep dalam arti “idea,” bukan “draft”) atau konstruk ke dalam satuan-satuan ukuran (yang akan diukur itu). Mari kita sebut jabaran konsep itu sebagai “deskriptor” konsep. Dalam hal tertentu, sesuai dengan macam konsep, akan disebut sebagai “indikator” konsep (penanda, tanda-tanda konsep). Ada yang menyebutnya dalam bahaasa Inggris sebagai “domain.” Contoh:

“Rajin belajar pangkal pandai.” Ini “teori” yang mengabstraksikan bahwa jika variabel X (intensitas belajar) tinggi (dengan sebutan rajin belajar), maka variabel Y (hasil belajar) juga akan tinggi (yang disebut dengan pandai).

Untuk bisa “melihat” apakah memang ada korelasi (kaitan, asosiasi) kerajinan belajar dengan kepandaian (pada seseorang murid: jika murid itu rajin belajar, maka murid itu akan pandai), maka kedua konsep (yang berupa variabel) itu harus diukur. Diukur apakah murid itu rajin (intensif) belajar ataukah malas (tidak intensif) belajar, dan diukur pula apakah hasil belajarnya tinggi (pandai) ataukah rendah (bodoh).

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah “bagaimana mengukur” kerajinan belajar dan kepandaian itu. Hati-hati: bukan dengan angket, dengan tes, dengan observasi. Itu alat ukurnya, bukan bagaimana mengukurnya. Yang dimaksudkan adalah apanya yang diukur, apa yang dijadikan patokan untuk mengukur. Dalam bahasa sederhana: Apa yang menjadi tanda-tanda (indikator) seseorang rajin belajar dan apa pula yang menjadi tanda-tanda seseorang itu pandai.

Nah, mari kita ubah dulu “teori nenek moyang Indonesia” tadi menjadi teori yang agak metodologis. “Rajin belajar pangkal pandai” kita ubah jadi “Intensitas belajar yang tinggi menghasilkan prestasi belajar yang tinggi.” Kita ubah lagi menjadi “Intensitas belajar berkorelasi dengan prestasi belajar.” Ubah lagi jadi “Ada korelasi antara intensitas belajar dan prestasi belajar”. Yang terakhir ini akan mencerminkan “korelasi positif” jika X tinggi – Y akan tinggi, jika X rendah – Y akan rendah (X = intensitas belajar, Y = prestasi belajar).

Jadi, muncul pertanyaan: Apa tanda-tanda orang yang belajarnya intensif (kerap, sering, “rajin”), dan apa pula tanda-tanda orang berprestasi belajar tinggi (“pandai”). Nah, mulailah kita berhadapan dengan “definisi operasional,” batasan pengertian mengenai sesuatu konsep atau konstruk yang “operasional,” yang terhadapnya “bisa dilakukan” pengukuran. Bayangkan jika dokter akan melakukan operasi, pasti yang akan dioperasi itu harus tegas jelas kasat mata. Dokter tak mungkin mengoperasi sakit hati (kalau bukan segumpal hati alias “liver” yang sakit).

Jadi, definisi operasional itu mudahnya dapat dikatakan sebagai rumusan perilaku yang bisa diamati sebagai perwujudan dari sesuatu konsep. Perilaku itu sendiri dapat berupa hasil perilaku (tanda sudah melakukan sesuatu). Pandai (dalam arti menguasai pelajaran) dapat diukur dari perilaku kemampuan menjawab atau mengerjakan soal dengan benar, mengerjakan sesuatu tugas terkait pelajaran dengan tepat, dan sebagainya.

Dengan instrumen apa “kerajinan belajar” dan “kepandaian” itu tepat diukur? Jawabnya, bisa dengan angket. Stop! Murid rajin belajar atau tidak, sebenarnya akan lebih tepat diobservasi (cek, ikuti perbuatan belajarnya–tanpa disadarinya bahwa sedang diamati). Kepandaian (hasil) belajar akan lebih tepat diukur dengan tes (tes lisan, tulis, atau perbuatan, sesuai dengan materi pelajarannya). Dengan angket? Ya tanya apakah “rajin” (sering, intensif) belajar. Ya tanya, apakah hasil belajarnya tinggi atau rendah (“Berapa nilai yang diperoleh dari pelajaran?”). Yakin dengan jawaban angket? Itu persoalan!

Jadi, itulah inti validitas angket. Benar atau tidak, tepat atau tidak, menjabarkan secara operasional sesuatu konsep atau konstruk. Itulah yang lazim disebut dengan “content validity“ (kesahihan isi). Uji validitas yang lainnya hanya kelanjutan demi kelebihyakinan dari “logika operasionalisasi konsep atau konstruk.”

Untuk jelasnya, “content validity” itu seperti dinyatkan berikut.

Content validity is illustrated using the following examples: Researchers aim to study mathematical learning and create a survey to test for mathematical skill. If these researchers only tested for multiplication and then drew conclusions from that survey, their study would not show content validity because it excludes other mathematical functions. (Writing@CSU-online; Colorado State University).

Kesahihan isi itu dapat dilukiskan dengan contoh berikut: Peneliti berkehendak meneliti hasil belajar Matematika. Untuk itu dirancanglah suatu survey untuk mengetes kemampuan matematika murid. Jika peneliti itu hanya mengetes kemampuan perkalian saja dan kemudian membuat simpulan dari survai itu (murid mampu bermatematika atau tidak mampu), maka penelitian yang mereka lakukan itu tidak sahih (tidak menunjukkan kesahihan isi), sebab tes yang mereka lakukan tidak menyertakan fungsi-fungsi matematika lainnya.

Jelasnya contoh di atas yaitu seseorang murid dikatakan mempunyai kemampuan Matematika (pintar Matematika) itu bukan hanya jika bisa menghitung perkalian saja, sebab masih ada “isi” yang disebut kemampuan bermatematika (pintar Matematika) yang lainnya. Jadi, tes yang disusun itu tidak mencerminkan (tidak memuat) semua “isi” dari “konsep” kemampuan Matematika.

Nah, jika ada angket yang akan mengungkap tingkat pendidikan tertinggi yang pernah dicapai, banyaknya anak yang dimiliki, usia saat ini, jenis kelamin, kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme, pemanfaatan alat peraga dan media dalam PBM dan sebagainya, perlukan ada uji validitas? Konsep “tingkat pendidikan tertinggi, anak, usia, jenis kelamin, kegiatan, pemanfaatan alat peraga dan media” yang akan dioperasionalkan itu apanya? Tidak ada. Itu konsep yang sudah amat jelas, tak perlu didefinisikan atau diberi batasan pengertian agar semua orang sama pemahaman arti mengenainya, alias tidak akan punya paham pengertian lain mengenainya.

Sampai sini dulu.

1 komentar:

  1. The Ultimate Guide to Live Casino in India 2021
    Live casinos are a popular option among online 무료 룰렛 게임 casinos. m bet365 They are one 애니팡 포커 of the main features of the online 포커 에이스 casino game. While this is a no-  Rating: 85% · ‎Review 강원 랜드 여자 앵벌이 by Casino Sites

    BalasHapus