Sabtu, 24 April 2010

Konsep, konstruk, definisi operasional, dan definisi konseptual dalam penelitian


Katakanlah Anda akan meneliti tentang profesionalisme guru. Pertama-tama yang harus terpikirkan oleh Anda adalah apa yang dimaksudkan dengan profesionalisme itu, sebab bisa jadi yang Anda maui (pahami) dengan menyebut istilah itu, tidak sama dengan yang dipahami orang lain. Perbedaan itu akan membuat kesulitan komunikasi dalam penelitian, termasuk mengkomunikasikan hasil penelitian Anda, nantinya. Beda pemahaman tentang sesuatu, akan menyebabkan salah pengertian (bahasa kerennya misunderstanding) dan gagal komunikasi, seperti dalam anekdot sangat populer berikut.

***

“Budak Sunda” ketemu “Bocah Jowo.” Kebetulan bersaudara sih, anak kakak-adik, tetapi yang satu tinggal di Jogja, yang lainnya tinggal di Majalengka, sebelah barat Gunung Ciremay, bukan Cicalengka, Bandung, gitu.[Maja lengka itu artinya maja pahit; lengka (leng dalam lengkap) bahasa Jawa kuno, halusnya lengkit. Kerajaan Majapahit dalam babad suka disebut juga Majalengka].

“Bocah Jogma” (wong Jogja asli Majalengka) itu mudik, ceriteranya, dan ketemulah mereka di Majalengka, di desanya yang di gunung sih, bukan di Majalengka yang dataran rendah. Eh, lupa, Cah Jogja itu “teu bisaeun” (gak bisa) basa Sunda. Bahasa Indonesia saja gak lancar, wong sehari-hari pakai boso Jowo, je, tur masih SD kelas I. Kerabatnya, barudak Sunda, gak juga padabisa bahasa Indonesia, masih SD dan TK, apalagi boso Jowo. Blas.

Bocah Jogja tuh rada gede dibanding “barudak” Majalengka. Cah Jogja pingin menikmati suasana desa, jadi ngajak duduluran Sundanya jalan-jalan ke sawah, ke sawah Embah (Aki) mereka. Di Jogja gak punya sawah, sih. Mereka berjalan melewati pematang dan parit-parit, selokan irigasi.

Saat melewati selokan itu ada sesuatu yang berkecipak masuk ke dalam lubang yang rimbun terhalangi rerumputan. Cah Jogja melihat ada ikan, ikan lele, masuk ke lubang itu.

“Lele, lele! Kae lho ono lele mlebu leng,” kata si Bocah Jogja, sambil menunjuk-tunjuk ke arah lubang tempat ikan lele masuk.

“Sok kodok, atuh!,” timpal Budak Sunda, menyuruh Cah Jogja yang lebih gede itu “ngodok” (merogoh) lubang, menangkap ikannya. Kalau anak gede kan mestinya lebih berani. Barudak (anak-anak) Sunda takut, kalau-kalau ada ular.

Mendengar kata kodok-kodok begitu (kata-kata lainnya gak mudeng alias gak ngerti), Cah Jogja bingung, masak lele dibilangin kodok.

Kodok ngorek

“Kae ki lele. Sing mlebu leng ki lele!” Sambutnya ngotot, menegaskan yang masuk lubang itu ikan lele, bukan kodok, sambil nunjuk-nunjuk lubang

Barudak Sunda bingung dengan ucapan Cah Jogja. Tapi pokoknya ada kata lele, gitu, jadi langsung padajawab, “Nya enya sok atuh kodok!” (ya iya, makanya cepetan rogoh lubangnya) timpal Budak Sunda, paham kalau yang disebut-sebut itu memang lele, ikan lele, jadi bagus kalau “dikodok” (dirogoh).

Cah Jogja tambah bingung. Kok kodok lagi kodok lagi. Padahal itu lele.

“Ye. . . piye tho, kok kodok maneh, kodok, maneh. Kandani lele, kodok, kodok wae. Embuh, ah!” (Gimana sih, dibilangin lele, kodok lagi, kodok lagi. Udah, ah, tahu!), jawab Cah Jogja sambil ngeloyor pergi jalan terus menuju sawah.

Barudak Sunda “molohok ngembang kadu” (melongo terlongong-longong). Lalu, sambil bingung, nuturkeun (ngikut) jalan di belakang Cah Jogja.

***

Konsep
Lele dan kodok itu keduanya konsep. Konsep (kata) lele dipahami sama, baik oleh Urang Sunda, maupun Wong Jogja. Tetapi konsep (kata) kodok menjadi tidak sama pahamnya. Wong Jogja pahamnya kodok itu katak, Urang Sunda mengertinya rogoh (memasukkan tangan ke dalam lubang). Itulah ceritera mengapa sesuatu konsep (kata, istilah) dalam penelitian harus dipertegas maknanya (dibatasi atau didefinisikan pengertiannya).

Nah, mari kita lanjut dengan bahasan kita tentang profesionalisme.

Kata “profesionalisme” dalam bahasa metodologi penelitian lazim disebut sebagai sebuah konsep (concept). Hati-hati, istilah concept jangan dikisruhkan pula dengan draft. Kenapa? Karena dalam keseharian istilah konsep kerap dipakai dalam kalimat seperti, “Konsep suratnya sudah dibuat?” Atau, “Wah, maaf, saya belum sempat mengonsep naskah sambutannya.”

Konsep dalam dua kalimat contoh di atas bahasa Inggrisnya draft, bukan concept. Bahasa Indonesianya buram. Bahasa gaulnya “oret-oretan.” Membuat konsep sama makna dengan membuat buram atau oret-oretan. Dulu, sebelum masa komputer, sebelum mengetik dengan mesin tik dengan kertas HVS, konsep biasa dibuat pada kertas buram, karena kertas buram fungsinya memang untuk oret-oretan (membuat draft), bukan untuk menulis yang sebenarnya. Konsep (concept) dalam bahasa metodologi penelitian sebenarnya kata atau kata-kata (frasa) yang dapat disebut juga sebagai istilah.

Cobalah Anda gambarkan apa yang terbayang di kepala Anda jika saya menyebutkan kata (istilah, sebutan) “orang,” lalu “orang utan, ” lalu “orang hutan.” Ada sesuatu sosok yang terbayang di kepala Anda berkenaan dengan ketiga istilah, sebutan, atau kata itu, kecuali mungkin kata kedua dan ketiga. Orang, tentu Anda sudah bisa membayangkan sosoknya seperti apa, termasuk sosok Anda sendiri. Orang utan, rasanya pasti dalam kepala Anda ada “bayangan” (kesan) tentang sejenis kera. Orang hutan, nah ini baru masalah. Mungkin Anda membayangkan sama dengan orang utan, mungkin terbayang sosok seperti kita (orang juga) yang tinggal di hutan (seperti sebutan untuk orang desa atau orang kota). Orang, orang utan, dan orang hutan itu ketiganya disebut sebagai konsep (concept), sesuatu sebutan yang “mewakili” keberadaan sosok yang nyata ada dalam kehidupan, tetapi tidak terkait dengan sesuatu sosok tertentu.

Konsep bersifat umum dan abstrak. Universitas adalah konsep yang sangat abstrak. Universitas negeri, konsep lain yang agak konkrit, tetapi tetap masih abstrak, belum menunjuk universitas negeri yang manapun. Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) konkrit (ada barangnya, ada bendanya). UNY pun masih konsep juga, kendati konsep yang nuansanya konkrit, tertentu. UNYmemang nama sesuatu yang nyata, yang ril. Akan tetapi, seperti apa UNY itu, tak konkrit. Yang tampak cuma bangunan dan lokasi kampus UNY serta orang-orang yang sibuk dan serius bertridharma PT di dalamnya. Nah, ketika kita bicara kampus UNY barulah muncul sesuatu yang konkrit, seperti kalau Anda bertemu saya di UNY. Saya, yang bernama Tatang M. Amirin, benda konkrit, bukan konsep abstrak.

Di kepala kita ada “konsep” (ide tentang) ikan, sehingga tidak seorang pun dari kita yang tidak akan menyebut gambar berikut paling atas dan tengah sebagai ikan, padahal cuma garis lengkung-lengkung (gambar kiri atas) , padahal cuma “ceprik-ceprik duri-duri tajam” (gambar kanan atas), hatta yang agak rumit berupa vignet sekalipun (gambar tengah). Padahal itu berbeda sama sekali dengan benar-benar ikan, “ikan pacaran” pada gambar (foto) paling bawah.

Perhatikan pula anak kecil. Ia punya konsep tentang kucing di macankepalanya. Maka, ketika ia bertemu dengan seekor binatang yang lewat di depannya, ia akan menyebut binatang itu dengan kucing, karena yang lewat itu sama benar dengan konsep kucing yang ada di kepalanya. Bisa jadi, ketika ia ke kebun binatang dan melihat harimau (macan), ia pun akan menyebut binatang itu dengan kucing, karena “konsep” harimau belum ada di kepalanya, baru ada “konsep” kucing.

Orang-orang menyebut semua pisau “silet,” apapun mereknya (Goal, Tatra, Tiger) dengan silet (gilette), karena pisau ciptaan pertama kali Pak Gilette yang sosoknya seperti itulah yang pertama kali muncul. Sama dengan “orang Jawa” yang suka menyebut semua orang “Barat” dengan “Londo,” sehingga ada Londo Inggris, ada Londo Australia, ada Londo Amerika, walaupun londo itu asalnya sebutan untuk orang Belanda. Yang asli Belanda disebut “Londo Belanda” (?)

Jika dalam contoh di atas ada anak kecil menyebut harimau dengan kucing, tidak mustahil ketika dosen metodologi penelitian menyebut konsep “subjek penelitian”, dalam kepala mahasiswa terbayang seperti “subjek kalimat” dalam kalimat “Dosen mengajari mahasiswa melakukan penelitian” (dosen subjek, mengajari predikat, dst). Jadi, subjek penelitian adalah orang yang melakukan penelitian. Tentu saja itu salah, seperti kesalahan anak kecil menyebut harimau dengan kucing.

Sila baca makna subjek penelitian dalam tulisan Penulis di dalam blog ini juga. Namun demikian, biar agak nyambung sedikit, subjek penelitian adalah sesuatu, bisa orang, benda, atau lembaga, yang sifat dan atau keadaannya alias “attributes”-nya akan diteliti. Misalnya: (1) benda: kuantitasnya, kualitasnya, teksturnya, daya tariknya; (2) orang: sikapnya, perilakunya, pendapat atau wawasannya, kemampuannya, loyalitasnya, kedisiplinannya; (3) lembaga: (a) organisasi: sistem pengelolaannya, iklim organisasinya, efektivitas layanan publiknya, ketercukupan fasilitasnya, dinamikanya; (b) pranata sosial: prosesnya, makna-makna simbolisnya, sejarah asal usulnya.
Konstruk (Construct)
Istilah konsep kadang kala disebut juga konstruk (construct). Keduanya sebenarnyasama saja. Hanya kadang-kadang suka dibedakan, yaitu sebutan kontruk dikhususkan pada sesuatu yang bisa diukur-ukur (ditimbang, dihitung dsb). Dalam bahasan tentang penyusunan instrumen penelitian (baca: instrumen pengumpulan data dengan “teknik tes dan pengukuran”) suka ditemukan istilah validitas konstruk (construct validity, kesahihan berlandas makna hakiki konstruk atau konsep). Itu maksudnya yang “digambarkan” tentang konsep/konstruk itu benar atau tepat.

Ambil contoh konsep/konstruk “partisipasi masyarakat.” Apa makna hakliki partisipasi itu? Partisipasi masyarakat itu yang “take part” atau yang “involve.” Take part artinya benar-benar melakukan peran tertentu (lihat definisi peran di bawah). Involve (terlibat) artinya terlibat, tetapi tidak pegang peranan. Jika orang tua murid ikut membicarakan bagaimana sekolah akan dikembangkan, ikut merencanakan program pengembangan sekolah, ikut melaksanakan program, ikut memonitor dan mengevaluasi program, itu namanya berperan serta (berpartisipasi). Jika orang tua membantu menyumbang uang untuk mengembangkan sekolah, itu artinya orang tua terlibat dalam pengembangan sekolah, tapi tidak ikut berpartisipasi.

Ambil contoh ekstrim Mr. Saddish dan Mr. Qjamm membunuh Ms. Devique Boongama Lamkhary. Pembunuhan dengan menggunakan golok Mr. Goobanc. Yang membunuh Mr. Saddish. Mr. Qjamm “mengamankan mayat Devique. Yang beperan serta dalam pembunuhan itu Mr Saddish dan Mr. Qjamm. akan tetapi, menurut versi “the policeman,” Biasanya Mr. Goobanc dianggap terlibat (involved), karena meminjamkan goloknya (sengaja tau tidak).

Nah, dengan makna hakiki partisipasi seperti itu, maka jika yang tergali dalam (oleh) penelitian hanya keterlibatan (involvement) saja, itu artinya datanya tidak valid sesuai hakekat konstruknya. Jadi, dapat dikatakan pula bahwa “instrumen” untuk menggali data itu tidak memenuhi syarat validitas konstruk. Jadi, akhirnya, datanya “bias” (menyimpang dari yang sebenar-benarnya, alias salah, alias tidak sahih–shahih, bahasa Arab, artinya benar atau betul).

Pendefinisian Konsep

Analog (berkias) pada kemungkinan akan terjadi kesalahtangkapan makna (misunderstanding) serupa itu dalam penelitian, maka seseorang yang akan melakukan penelitian dituntut untuk memperjelas mempertegas konsep-konsep penting (tidak setiap kata atau konsep) yang ada di dalam “topik penelitiannya” (lazim tercermin dalam judul–kalimat judul penelitian). Kenapa? Karena penelitian yang dilakukan seseorang akan memunculkan “komunikasi” dengan banyak pihak. Dalam komunikasi itu haruslah kedua belah pihak sama makna dalam memahami konsep-konsep yang muncul ke permukaan penelitian.

Contoh:

Di Yogyakarta dan sekitarnya dikenal ada tradisi “nyadran.” Kayaknya istilah ini berasal dari istilah hadharahan (tulisan lama hadlarahan; baca: hadorohan) atau hadhran (hadlran; baca: hadran), yaitu kenduren yang lazimnya didahului doa “kaum” yang diawali ucapan “ila hadharati” (baca: ila hadoroti) atau “ila hadhrati” (baca: ila hadroti) . . . al-Fatihah. Karena ada kata “ila hadharati” (atau “ila hadhrati”) itu maka sebutan terhadap pembacaan keseluruhan bacaan tersebut bisa (suka-suka) disingkat menjadi hadoroh atau hadroh. Misalnya menjadi kalimat ajakan (di desa saya waktu kecil lazim ada istilah dimaskud), “Mari kita hadoroh dulu!” Itu artinya mengajak semua melakukan acara “mengirim al-Fatihah ke hadhoroh (ila hadhoroh (t berubah jadi h sesuai tatabahasa Arab) . . .” atau “hadroh” (“aslinya” hadhrot) seseorang yang dimuliakan. Dari sebutan “hadoroh” atau “hadroh” itu, kegiatan melakukan seluruh rangkaian acara “berhadoroh/berhadroh” itu disebutlah dengan “hadorohan” atau “hadrohan” yang luluh menjadi “hadran,” dan kemudian menjadi “nyadran.”

Kenduren ini dilakukan pada bulan Rewah, sehingga suka juga disebut jadi “rewahan” alias “ngarwahi,” yaitu mengirim dua kepada para arwah, leluhur, utamanya yang dianggap mulia atau “al-hadhrat” [= "al-hadrah"; dalam tulisan lain ditulis "al-hazrat atau al-hazhrat) sebelum puasa.

Menurut Zoetmulder, nyadran merupakan peringatan meinggalnya seorang raja Majapahit, ketika itu Tri Buwana Tungga Dewi, disebut sradha (dari kata sradha muncul istilah nyadran atau sradhaan). Oleh wali tradisi "ziarah" kubur raja itu diisi nilai-nilai Islami. Wallahu a'lam mana yang benar (Kenapa bulan Rewah?).

Istilah nyadran ini jika dibawa ke daerah tertentu di Banjarnegara, Jawa Tengah utara-barat, bukan Banjar Ciamis (menurut mahasiswa saya pada Prodi PGSD FIP UNY) akan dipahami lain, karena nyadran di Banjarnegara itu merupakan kenduri sebelum pernikahan dan setelah pernikahan seseorang diselenggarakan.

Itu contoh soal jika, misalnya, ada yang akan meneliti asal-usul tradisi nyadran di Indonesia. Nyadran versi yang mana? Jogja-Solo atau Banjarnegara?

Kembali ke awal. Jadi, istilah (konsep) profesionalisme yang akan diteliti itu haruslah jelas dan tegas benar maksud maknanya apa. Harus dibatasi pengertiannya. Dibatasi, maksudnya dipertegas maknanya, seperti jika orang mempertegas batas-batas tanah miliknya, sehingga jika ia mengatakan "tanah saya," jelas yang dimaksud tanah yang itu, bukan yang lainnya (yang lainnya punya orang lain).

Itulah sebabnya penegasan makna atau pengertian tersebut diistilahkan dengan batasan pengertian (bahasa Inggrisnya definition). To define salah satu maknanya adalah "to state exactly the meaning of a word or phrase" (menyatakan secara tegas makna sesuatu kata atau frasa). Makna lainnya adalah "to show a line, a shape, a feature, an outline etc. clearly" (menunjukkan secara jelas tegas sesuatu garis batas, suatu bentuk, suatu sosok, suatu kerangka garis besar, dsb).

Ambil contoh yang paling mudah, agar tidak perlu merunut menelusur ke literatur. Yang akan diteliti mengenai prestasi belajar. Apa arti (makna) prestasi belajar itu? Arti secara umum adalah keberhasilan belajar atau hasil belajar. Masih ada pertanyaan. Apa arti (makna) belajar? Belajar apa, belajar di mana?

Mari kita contohkan begini:

Budi, murid SD kelas IV, pintar sekali menganyam bambu. Belajar di mana ia? Di rumah, diajari (sekaligus membantu) ayahnya yang sehari-hari pekerjaannya menganyam bambu. Apakah hasil belajar Budi akan termasuk yang diteliti? Tidak? Hanya yang diajarkan dan dipelajari di sekolah saja? Nah, tampak benar kan perlunya ada batasan pengertian prestasi belajar itu? [Ingat contoh di muka: Itu "tanah saya", yang itu "bukan tanah saya". Ini lho batas-batasnya! Sama-sama "tanah" tapi ada "tanah saya" dan ada "tanah orang lain" > Sama-sama prestasi atau hasil belajar, tetapi ada "di/dari sekolah" dan "di/dari luar sekolah."]

Masih ada pertanyaan lanjut. Setelah diajari guru agama (ustad), Budi “pintar” sembahyang. Pada saat ujian, Budi ditanya macam-macam “hapalan” pelajaran agama. Budi tidak bisa menjawab dengan baik. Nilai (prestasi belajar) Budi jadinya rendah. Padahal Budi “pintar” solat, puasa, wiridan, doa, azan, qomat dll. Prestasi belajar yang mana yang hendak diteliti?

Definisi Operasional Konsep
Nah, batasan pengertian (definisi) konsep belajar (prestasi belajar) itu jadinya harus “dioperasionalkan” lebih tegas. Operasional artinya jika akan diukur atau dihitung, aspek-aspek, sisi-sisi apa saja yang harus tercakup ke dalam konsep belajar (prestasi belajar) itu agar mudah diteliti (diukur, dihitung dsb). Dengan kata lain, apa saja yang menjadi “tanda-tanda” (indikator) pengukur konsep itu. Ingat, ini berkaitan dengan penelitian yang dalam menghimpun datanya menggunakan ukuran-ukuran atau hitungan-hitungan. Dalam bahasa metodologi penelitian sering dikaitkan dengan penelitian kuantiatif-positivistik (yang suka memandang segala sesutu bisa diukur atau harus bisa diukur).

Sebentar! Diukur itu maksudnya apa? Tinggi tubuh diukur dengan meteran. Berat badan diukur dengan timbangan. Isi tangki bensin diukur dengan literan. “Daya terang” bola lampu “diukur” dengan “watt.” Kecepatan laju kapal “diukur” dengan “knot.” Itu sehari-hari yang kita tahu. “Kepahaman” murid akan materi pelajaran yang sudah diajarkan dan dipelajari “diukur” dengan tes (ujian, ulangan). Lalu, bagaimana “mengukur” yang lainnya?

Disusun oranglah berbagai alat ukur. Kecerdasan diukur dengan “alat tes”, antara lain yang dibuat oleh Binet dan Simon. Ada pula alat ukur yang disebut dengan Tes Potensi Akademik. Sikap (pro-kontra, setuju-tidak setuju, simpati-antipati terhadap sesuatu yang melibatkan unsur emosi subjetif seseorang; misalnya sikap “orang tua” Amerika Serikat terhadap pengiriman “anak-anaknya” ke negara-negara yang dianggap tidak demokratis menurut kaca mata “pemimpin” Amerika–orang Indonesia yang tidak terlibat secara emosional subjektif terhadap hal yang disikapi warga Amerika itu tadi, bukan sikap, melainkan hanya pendapat atau opininya saja) “diukur” dengan skala sikap, misalnya dengan model Likert.

Kembali ke definisi operasional. Kita bicarakan bagaimana merumuskan definisi operasional.

Coba kita beri contoh dengan memikirkan apa tanda-tanda seseorang mahasiswa dikatakan “rajin belajar.” Apa saja yang menjadi “ukuran” rajin belajar itu? Pertama, deskripsikan dulu apa saja kegiatan yang termasuk belajar itu (mengikuti kuliah, membaca bahan kuliah, mengerjakan tugas, berdiskusi dengan teman, atau apalagi?). Setelah itu cari tanda (ukuran, indikator) kerajinan (belajar) dari setiap deskriptor tadi. Jadi, ada rajin mengikuti kuliah (tanda atau indikatornya?), ada rajin membaca bahan kuliah (tanda atau indikatornya?) dan seterusnya. Jangan lupa, dalam setiap deskriptor itu tentu ada subdeskriptornya. Mengikuti kuliah (salah satu deskriptor belajar) mengandung sub kegiatan, misalnya, mengikuti presentasi dosen, mengikuti diskusi kelas (jika ada), mengerjakan tugas kelas (jika ada), menyusun makalah untuk diskusi kelas dan mepresentasikannya (jika ada).

Jadi, kerajinan belajar mahasiswa adalah kekerapan seseorang mahasiswa hadir di kelas mengikuti perkuliahan dan mengerjakan tugas-tugas kelas, kekerapan membaca literatur yang terkait dengan perkuliahan, kekerapan dan kesungguihan mengerjakan tugas-tugas kuliah . . . (dst.).

Contoh di atas merupakan contoh definisi operasional. Definisi operasional konsep adalah definisi (batasan pengertian) sesuatu konsep yang mengandung kejelasan dan ketegasan mengenai deskriptor (aspek-aspek yang terkandung atau tercakup) dan indikator (tanda-tanda keberagaman atau variabilitas) konsep yang akan diteliti itu, yang terukur (bisa dan mudah diukur) dan atau terhitung (bisa dan mudah dihitung).

Penelitian yang tidak akan mengukur-ukur tentu tidak memerlukan adanya definisi operasional. Penelitian eksploratori (eksploratif), misalnya, karena tidak mulai dari konsep yang harus diukur-ukur, tidak memerlukannya. Justru dapat terjadi dari penelitian eksploratif (penggalian) tersebut akan tergali dan termunculkan sesuatu konsep baru yang sama sekali sebelumnya belum diketahui, disertai (berdasarkan) deskriptor atau indikatornya yang juga muncul dari penelitian lapangan, bukan dari “kepala” peneliti sebelum melakukan penelitian eksploratif tersebut.

Contoh:

Seperti apakah bunga Raflesia Arnoldi sebelum ditemukan oleh Arnold dan Rafles? Tak ada yang tahu. Nama itu saja pun untuk menyebut bunga bangkai itu tak ada. Setelah itu barulah orang bisa “menemukan” bunga-bunga raflesia arnoldi di beberapa tempat dan menyebutnya sebagai bunga raflesia arnoldi berdasarkan sifat-sifatnya yang sesuai dengan sifat-sifat bunga raflesia arnoldi (paling awal ditemukan).

Berikut ini contoh definisi operasional yang sangat sederhana (singkat) karena tidak memerlukan deskriptor yang banyak):

Kontak orang tua dengan anak-anaknya adalah kekerapan pertemuan tatap muka orang tua dengan anak-anaknya yang diukur dengan hitungan menit pertemuan. [Sila baca tulisan "Penelitian Kualitatif Penggalian-Hipotesis . . ." dalam blog ini!]

Nah, kita coba dengan konsep profesionalisme. Oh, ya, sebelum lanjut, definisi operasional tidak (jangan) mengutip definisi yang ada di buku-buku pelajaran (textbook), karena yang ada di sana lazimnya berupa definisi konseptual (seperti akan dibicarakan di bawah).

Profesionalisme atau keprofesionalan adalah tinggi-rendahnya pemilikan pengetahuan, kecakapan, dan etika untuk dan dalam melaksanakan tugas dan fungsi jabatan yang harus dilakukan seseorang dalam profesi tertentu.

Profesionalisme guru adalah tinggi-rendahnya pemilikan pengetahuan, kecakapan, dan etika untuk dan dalam melaksanakan tugas dan fungsi jabatan keguruan, yang mencakup nilai-nilai kepribadian yang luhur, bidang ilmu yang akan diajarkan, metodologi pengajaran/pendidikan (pedagogi), manajemen pengajaran/pendidikan, dan etika profesi keguruan.

Nah, ketahuan sekarang, alangkah susahnya untuk emengukur” profesionalisme seorang guru. Harus pakai tes (pengetahuan) dan observasi (kinerja cerminan kecakapan).

Definisi Konseptual Konsep

Dalam beberapa jenis penelitian, definisi yang diperlukan cukup berupa definisi konseptual, yaitu penegasan penjelasan sesuatu konsep dengan mempergunakan konsep-konsep (kata-kata) lagi, yang tidak harus menunjukkan sisi-sisi (dimensi) pengukuran (tanpa menunjukkan deskriptor dan indikatornya dan bagaimana mengukurnya ).

“Prestasi belajar merupakan segala bentuk keberhasilan dari mengikuti atau melakukan kegiatan belajar,” merupakan contoh definisi konseptual. Ada konsep “keberhasilan belajar” dan “mengikuti/melakukan kegiatan belajar” yang dipakai untuk menjelaskan dan menegaskan makna prestasi belajar. Belum (tidak ada) deskriptor dan indikator bagi kedua konsep tersebut, sehingga, jika akan diukur tidak jelas apanya yang akan diukur. Seperti telah dijelaskan, yang diukur tentu “ukuran”, misalnya ketinggian: tinggi – rendah; kebesaran: besar – kecil: “kebanyakan”: banyak – sedikit; kekerapan: sering – tidak pernah; “kesetujuan”: sangat setuju – sama sekali tidak setuju. Namun demikian, pendefinisian secara konseptual tersebut sudah memberi makna mengenai apa yang dimaksud dengan prestasi belajar.

Definisi konseptual diperlukan dalam penelitian karena definisi itu akan mempertegas apa yang akan diteliti. Sekali lagi, terkecuali pada penelitian yang benar-benar besifat eksploratif, yang konsepnya saja pun belum terketahui, sehingga tidak mungmin mendefinisikannya terlebih dahulu, karena konsepnya saja pun belum tergali. Penelitian model ini (murni eksploratif) mungkin amat sangat jarang terjadi (Karena amat jarang yang melakukan seperti itu? Bisa jadi! Termasuk saya, hehe . . . )

Kapan Konseptual, Kapan Operasional

Judul penelitian yang berbunyi “Efektivitas pelaksanaan manajemen berbasis sekolah (MBS) di Kabupaten Majalengka,” misalnya, mengandung konsep (istilah) yang bersifat “variabel” (mengandung keragaman “nilai” tinggi – rendah), yaitu efektivitas (sangat efektif vs tidak efektif sama sekali). Menelitinya tentu harus dengan mengukurnya (seberapa tinggi tingkat efektivitasnya). Oleh karenanya harus didefinisikan secara operasional konsep (yang berupa frasa) “efektivitas pelaksanaan MBS” itu maknanya apa. Sekali lagi, mulailah dari deskriptornya: deskriptor pelaksanaan MBS itu apa saja (misalnya keleluasaan sekolah untuk mengatur sendiri, keterlibatan masyarakat, dsb.), dan indikator (indikator efektivitas) dari tiap deskriptor itu apa.

Penelitian yang berjudul “Pendapat masyarakat mengenai peran masyarakat dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah” tidak memerlukan definisi operasional, karena “pendapat” tidak bisa dan tidak untuk diukur. Cukup dirumuskan definisi konseptual mengenai konsep (istilah) pelaksanaan MBS saja. Kata (kosep) “pendapat masyarakat” tidak perlu didefinisikan. Yang perlu dipertegas (bukan didefinisikan) hanya mengenai yang dimaksud dengan masyarakat itu siapa (semua orang–termasuk bayi-bayi yang baru lahir, orang dewasa, kepala rumah tangga, tokoh-tokoh formal dan informal?). tetapi, karena suka salah memaknai, pengertian peran (role) yang sering dimaknai sebagai andil atau sumbangan, perlu diperjelas (secara konseptual).

Iya deh, karena ada yang mengakses apa itu role, kita bahas sedikit. Gak apa kan, jadi panjang tulisan ini?!

Role itu artinya peran (sesuatu yang dilakonkan). Contoh: Tatang berperan sebagai (melakonkan sosok) Si Kabayan dalam “ketoprak nusantara multikultural UNY.” Jadi, Tatang memerankan tokoh (berakting sebagai) Si Kabayan. Role itu berati pula peranan (sesuatu “state” yang dilakukan untuk/dalam memberikan andil terhadap sesuatu). Perhatikan: ada andil atau sumbangan juga, sih! Misal: Tatang berperan sebagai penyandang dana pagelaran wayang golek dengan dalang Asep Sunarya untuk merehab bangunan SD Haurbuni (kayak iya-iyao punya duit, hehe . . .). Terlihat beda kan dengan ini: Tatang memberikan dana untuk merehab bangunan SD Haurbuni.

Definisi Operasional Variabel

Hampir sebagian besar penelitian kualitatif (studi kasus, grounded research, penelitian tindakan) tidak memerlukan definisi operasional, cukup definisi konseptual saja (itu pun bersifat tentatif, jika diperlukan).

Konsep yang perlu disusun definisi operasionalnya lazimnya konsep yang bersifat variabel, konsep yang mengandung sifat “kebervariasian” (keragaman) berjenjang (kontinum). Prestasi belajar, misalnya, merupakan variabel yang mengandung keragaman jenjang tinggi, sedang, rendah (Prestasi belajar tinggi, prestasi belajar sedang, prestasi belajar rendah). Motivasi belajar juga merupakan variabel yang mengandung sifat keragaman berjenjang (motivasi tinggi, sedang, rendah). Hati-hati: mengenai motivasi belajar ya jangan mengutip teori motivasi Maslow, Herzberg, Teori X dan Y! Cari di buku-buku Psikologi Pendidikan (jangan yang salah juga memaknainya! Hehe . . . Banyak yang suka salah, sih! Mari tanya Manguni Si Cendekia, haha!)

Mengenai kupasan tentang variabel sudah diutarakan dalam tulisan tersendiri. Sila baca, Lur!

Sumber :
Amirin, Tatang M. (2009). “Konsep, definisi operasional, dan definisi konseptual.” tatangmanguny.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar